Langsung ke konten utama

Sawah

"Sudah jual saja, sawah itu Mbah?" bujuk Sukono kepada Mbah Karto.

"Aku tidak bisa Le, itu sawah amanah dari leluhur kita," jawab kakek renta itu.
" Siapa yang mau meneruskan menggarap sawah, Mbah. Bapak saja jadi guru. Lek Pardi jadi pegawai kelurahan. Cucu-cucu Simbah juga ga pengen jadi tani. Pengennya kerja di PT atau  kerja jadi pamong praja. Wong sudah pada sekolah tinggi-tinggi," ujar Sukono.
" Ya biar aku saja yang menggarap sampai aku mati Le," jawab Mbah Karto
" Rugi lo Mbah. Ini pupung pengembang memberikan harga yang tinggi, 3 kali lipat lo Mbah," Sukono meyakinkan.
" Le, sekali ga ya ga, karena ini amanah yang disampaikan oleh leluhur-leluhurmu. Tani itu takdir simbah. Kalau simbah melanggar takut kualat," Mbah Karto berbicara sambil meninggalkan perdebatan itu.

Desa Kertodipuro, memang sedang mengalami dilema besar. Desa yang dulunya menjadi gudang padi satu Kabupaten, kini lagi menjadi bidikan para pengembang. Apa pasal? Jalan di desa ini rupanya menjadi akses menuju bandara international baru di Kabupaten ini. Banyak orang-orang desa yang berlomba-lomba menjual tanah dan sawahnya kepada pengembang. Tawarannya memang tinggi. Tiga kali lipat. Bukan main-main.  Warga desa memilih untuk membeli rumah dan membuka usaha lain di daerah seberang.  Pengembang ingin membangun berbagai sarana pendukung Bandara, seperti hotel dan pusat perbelanjaan. Mbah Karto adalah salah satu orang yang menolak tawaran menggiurkan itu. Bujukan dari pengembang. Bujukan dari tetangganya. Bujukan dari anak cucu tak pernah menggoyahkannya. Sawah Mbah Karto ini termasuk yang lumayan besar di Desa Kertodipuro.  Turun tumurun, keluarga Mbah Karto berprofesi sebagai petani yang handal. Namun tradisi ini berhenti, ketika anak-anak Mbah Karto akhirnya memilih profesi lain sebagai guru dan pamong praja. Mbah Karto sendiri walau sudah tua, namun tetap setia menggarap sawahnya.  Hasilnya sebenarnya juga tak seberapa. Tapi Mbah Karto selalu meyakini bahwa bertani adalah jalan hidupnya. Bercocok tanam adalah keterampilan yang diturunkan turun temurun. Mungkin Jika Mbah Karto bisa membuat buku, akan menjadi satu kitab sendiri tentang cara bertani. Tapi di desa ini sudah   semakin sedikit  yang ingin belajar mengolah padi. Sedikit hampir tidak ada. Semua orang seolah-olah ingin berlari dari  urusan ini. Semua ingin dikatakan moderen dan maju masuk ke sektor industri.

"Besok Simbah panen le, apa kamu mau bantuin memanen?" Tanya Mbah Karto kepada Sukono cucunya.
"Wah ga bisa Mbah, besok aku ada lamaran pekerjaan di  Supermarket baru pojok desa sana," jawab Sukono.
" Oalah gå bisa ya Le, ya sudah simbah tak minta bantuan Lek Joko dan Lek Parjo besok," ujar petani tua itu
" Loh simbah gå tahu ya, kalau Lek Joko dan Lek Parjo, sudah pindah ke kota setelah menjual sawahnya. Katanya mereka buka usaha baru di pasar tengah kota sana. Lumayan besar hasil jualan sawah kemarin," jelas Sukono
" Mosok to Le, Kapan pindahnya Le. pantas Simbah kok ga lihat mereka solat di langgar lagi?" tanya Mbah Karto
" Sudah seminggu Mbah, rumahnya yang di desa juga dijual, Katanya buat tambah-tambah usaha," jawab Sukono
" Oalah, desa kita ini telah berubah semua," gumam Mbah Karto
" Iya Mbah, makanya simbah ikut berubah dan menurut dengan nasehat nasehat tetangga, dijual sawahnya. Simbah tinggal ongkang-ongkang menikmati hasilnya," Sukono kembali meyakinkan simbahnya.
"Ya sudah besok Simbah akan panen sendiri saja, sedikit demi sedikit pasti bisa ," ucap Mbah Karto
Petani renta itu,  akhirnya memanen sendiri dengan sisa-sisa tenaganya. Tetangga yang biasa membantunya sudah pergi ke kota. Anak cucunya sudah memiliki kesibukan sendiri. Bahkan Mungkin tak memiliki lagi kemampuan bertani .  Masih beruntung ada pengempul padi  yang membelinya walau dengan harga yang sangat murah.

Masa panen terakhir itu   telah dilalui Mbah Karto dengan kesendirian.  Penduduk Desa Kertodipuro seolah lupa apa itu bertani. Bagaimana membajak sawah, bagaimana menyiangi padi, bagaimana membuat irigasi. Semua sedang sibuk dengan hiruk pikuk pembangunan yang warna warni. Tiga buah hotel telah berdiri di sepanjang desa itu. Tanah miliki Lek Parjo kini sudah berdiri restoran cepat saji. Sementara  di bekas tanah  Lek Joko, berdiri minimarket yang menyediakan berbagai kebutuhan sehari-hari. Sawah-sawah yang dulu hijau kini berubah menjadi lahan-lahan parkir dan perkantoran. Kecuali tanah Mbah Karto. Mbah Karto yang akhirnya Pensiun tanpa bisa bertani lagi. Karena sudah tak ada lagi yang menjual benih padi. Sudah tak ada lagi tukang giling padi yang berkeliling desa. Tak ada lagi yang bisa menemani panen.  Bertani di Desa Kertodipuro hanya dikenang saja sebagai sebuah cerita. Cerita bahwa dulu desa ini adalah Lumbung padi Kabupaten yang dipuja-puja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Muhammad A Kiong

Jika ditanya soal tempat yang paling nyaman selain kamarku, jawabnya adalah masjid kampus UGM. Walaupun aku sendiri bukan mahasiswa universitas itu. Terkadang bisa berjam-jam aku duduk di sana, membaca buku atau diskusi bersama kawan. Hawanya begitu menyejukkan. Tempatnya pun bersih dan indah. Hingga suatu hari aku bertemu dengan laki-laki aneh. Seseorang yang sangat mengagumkan sekaligus membingunganku. Saat itu, aku baru saja solat isya di sana. Usai berdoa, seperti biasa aku duduk di teras masjid. Menatap ke dalam lapangan luas berpohon palem. Untuk sekadar menghirup udara segar. Malam itu cukup cerah, bulan tak malu menampakkan diri. Padahal sore tadi, Jogja sempat diguyur hujan deras. “Assalamualaikum,” sapa laki-laki itu “Walaikum salam,” jawabku singkat. “Lagi menunggu siapa, mas?” “Wah, hanya cari udara segar di sini,” “Iya di sini memang menyejukkan, mas. Sudah lama saya jadi jamaah sini,” jawabnya. Kuperhatikan lebih dekat laki-laki itu. Ah...matanya sipit, seperti oran...

Bupati

"Sudah terima saja tawaran itu, Kang Parjo," ucap Kardimin dalam suatu perbincangan denganku. "Gundulmu, apa aku ini sanggup jadi bupati," jawabku ketus. "Loh, semua mendukungmu  lo kang. Bahkan Pak Badrun, pengusaha mebel di kota sana mau menggelontorkan dana besar untuk kemenanganmu kang," mulut Kardimin nrocos mirip politisi. "Aku tu cuma, mantan karang taruna dan bekerja sebagai relawan sosial saja. Siapa yang akan memilihku, min...min," jawabku ngeyel. "Kami siap mendukungmu kang. Partai mayoritas juga sudah sepakat untuk mengusungmu, jangan khawatir. Kamu itu terkenal lo kang. Terkenal ringan tangan membantu masyarakat. Tinggal kamu setuju  atau tidak," Kardimin menjelaskan. " Benar itu kang, sampeyan tinggal duduk manis. Ngga usah mikir soal kaos, poster, umbul-umbul. sudah ada yang mau bayari semua,"  Tukijo ikut-ikutan. "Pokoke tinggal beres, kang," Kardimin meyakinkan. "Ah nanti tak pikir-pikir dulu. I...

Cerita Kelinci di Bulan

Tiba-tiba saja, aku teringat masa kecil. Aku suka sekali melihat bulan saat keluar di malam hari. Apalagi bila purnama tiba, bisa lama memperhatikannya. Berdiri atau duduk sambil mengangkat kepala ke atas langit. Paling suka melihat di halaman depan yang luas . Saat itu, memang ada yang menarik perhatian. Bahkan merongrong rasa ingin tahuku. Kulihat di bulan, semburat sosok kelinci. Bagiku itu lucu. Bagaimana seekor kelinci bisa ada di langit sana. Setiap purnama, kuperhatikan betul kelinci itu. Tetap ada, tetap sama. Setelah beberapa kali melihat, aku pun beranikan bertanya kepada ayah, tentang kelinci itu. “Itu hewan peliharaan seorang putri yang terbang ke bulan, Nak,” jawab ayahku. “Kenapa putri itu ke bulan, yah?” “Suatu saat putri itu disuruh suaminya membeli minyak tanah. Dia pun berangkat dengan gembira. Dia memang sangat patuh dengan suaminya. Dengan berbekal uang pas, dia berangkat. Namun saat pulang dari membeli, dia kurang hati-hati dan menumpahkan minyak itu di t...