Langsung ke konten utama

Muhammad A Kiong

Jika ditanya soal tempat yang paling nyaman selain kamarku, jawabnya adalah masjid kampus UGM. Walaupun aku sendiri bukan mahasiswa universitas itu. Terkadang bisa berjam-jam aku duduk di sana, membaca buku atau diskusi bersama kawan. Hawanya begitu menyejukkan. Tempatnya pun bersih dan indah. Hingga suatu hari aku bertemu dengan laki-laki aneh. Seseorang yang sangat mengagumkan sekaligus membingunganku. Saat itu, aku baru saja solat isya di sana. Usai berdoa, seperti biasa aku duduk di teras masjid. Menatap ke dalam lapangan luas berpohon palem. Untuk sekadar menghirup udara segar. Malam itu cukup cerah, bulan tak malu menampakkan diri. Padahal sore tadi, Jogja sempat diguyur hujan deras.


“Assalamualaikum,” sapa laki-laki itu
“Walaikum salam,” jawabku singkat.
“Lagi menunggu siapa, mas?”
“Wah, hanya cari udara segar di sini,”
“Iya di sini memang menyejukkan, mas. Sudah lama saya jadi jamaah sini,” jawabnya.
Kuperhatikan lebih dekat laki-laki itu. Ah...matanya sipit, seperti orang Tiong Hoa.  Berbaju putih, berkopyah putih. Aku jarang melihat motif sarung yang dikenakannya. Usianya masih tampak muda. Tiga puluhan. Dan aku jarang melihat seorang Tiong Hoa muslim di sini. Hanya pernah di televisi, itupun jarang…
“A Kiong,” dia tiba-tiba mengulurkan tangan
“ Muhammad A Kiong,” laki-laki itu melengkapi namanya.
“ Saputra,” jawabku, sambil menyambut uluran tangan.
“Sering ke sini, mas?” dia menyambung pembicaraan
“ Iya,”jawabku seperti mengabaikannya. ”Saya punya kawan di UGM, jadi sering ke sini”
”Oh jadi anda bukan mahasiswa sini?”
” bukan, saya mahasiswa ISI, di daerah Bantul sana”
Kami basa-basi cukup lama. Berbincang tidak begitu jelas.
Hingga hatiku tiba-tiba tertarik berbincang dengannya lebih dalam. Mungkin karena dia seorang Tiong Hoa muslim dan bagiku itu suatu yang aneh dan baru. Rasanya aku ingin bertanya banyak.
“Maaf mas, Anda seorang Tiong Hoa  atau…?”
Dia tersenyum. Aku takut dia tersinggung.Tapi syukurlah
“Iya,saya keturunan Cina. Keluarga saya sudah lama tinggal di sini. Sudah sejak jaman Belanda. Kami turun temurun. Saya generasi keempat. Semuanya berdagang di sini mas. Yah, kalau mau dibilang, saya ini warga Indonesia walau keturunan Tiong Hoa. Mungkin mas tahu dari nama saya. A Kiong. Kwan Kiong Ji, lengkapnya. ”
Ah, orang ini tampak terbuka. Itu membuatku semakin berani bertanya tentang dirinya, Mungkin awalnya dia yang tertarik kepadaku. Tapi kini justru aku yang tertarik menginterograsinya. Sementara suasana masjid semakin sepi saja.
“Anda muslim?” tanyaku kepadanya, ah mungkin dengan muka aneh.
“Yah, saya muslim” jawabanya
“Sejak lahir?” tanyaku
“Tidak, sejak masjid ini berdiri, “ ucapnya singkat
“Sejak masjid ini berdiri? Benarkah?” aku mencoba mengklarifikasi
“Dulu, awalnya saya penganut agama lain, tapi sejak masjid ini berdiri, saya senang melihat orang solat. Saya juga senang mendengarkan pengajian yang digelar tiap sore. Semua yang saya dengarkan terasa menyejukkan di hati. Sampai akhirnya saya memutuskan untuk masuk Islam, Setelah saya benar-benar meyakininya. Dan nama Muhammad kemudian saya sandang. Ah... menurut saya, Islam agama yang lengkap,” jelasnya.
Aku cukup tertarik mendengar cerita A Kiong. Tentu dia mengalami perjalanan spiritual yang luar biasa. Dan sekilas pengamatanku, dia mungkin seorang yang taat solat. Di keningnya terdapat bekas hitam sujud.
“Tentu anda mengalami perjalanan spiritual yang luar biasa?” telisikku
“Ah, biasa saja, yah saya punya prinsip. Apa yang saya yakini akan saya jalankan. Jadi  tak banyak yang luar biasa,” dia menjawab sambil tertawa.
Tiba-tiba saja, telepon genggamku bergetar. Seorang kawan mengirim pesan singkat, agar aku menjemputnya di kampus. Terpaksa aku harus berpamitan dengan A Kiong, padahal omongan kami sudah sampai tahap yang menarik. Mungkin akan kutemui dia besok malam. Semoga dia solat Isya lagi di masjid kampus.
***
Seperti yang sudah kurencanakan, malam berikutnya aku solat Isya di masjid itu. Aku menunggu A Kiong. Benar saja, dia terlihat. Kali ini aku yang memanggilnya. Dia pun menoleh kepadaku dan menghampiriku.
“Ah, Saputra, Assalamualaikum,”sapanya.
“’Alaikum salam,” balasku.
“ Cari angin lagi, mas?” tanyanya.
“Cari Anda juga, Saya tertarik dengan perbincangan kemarin,” jawabku sambil tersenyum.
Dia tersenyum...lalu melangkah ke arahku
“Boleh, saya juga sedang tidak ada kerjaan”
Dia pun duduk di sampingku. Dan kami mulai berbincang-bincang seperti kemarin malam.
“ Apa tanggapan keluarga saat Anda masuk Islam?” tanyaku
“ Tak apa, mereka sudah tak peduli. Ini urusan saya dengan Tuhan. Dan keyakinan menurut saya tidak bisa diintervensi bukan?,”jawabnya.
“Di mana rumah anda?” tanyaku
“Di sekitar masjid ini,” dia menjelaskan
“Anda dosen?” aku penasaran
“ Bukan. Kemarin saya berkata keluarga saya pedagang semua. Atau apakah muka saya mirip dosen?” ucapnya dengan nada bercanda
”Mungkin,” jawabku.
” Di mana letak rumah anda?”aku semakin pengen tahu.
Dia hanya menunjukkan suatu arah, dan aku hanya menganggukan kepala, seolah paham betul di mana rumahnya. Kami pun mengobrol tentang banyak hal. Orang yang menyenangkan menurutku.
Kami bicara tentang banyak, budaya, dagang, idealismenya, tentang agama.
Tetapi kulihat beberapa orang jamaah memperhatikan kami dengan tatapan aneh. Seolah ada sesuatu yang janggal dengan kami, yang harus membuat mereka mengernyitkan dahi. Termasuk takmir masjid kampus, mas Maulana yang sudah kukenal lama. Dia mondar-mandir seolah ingin tahu apa yang sedang kami lakukan. Aku abaikan saja mereka. Yang penting A Kiong telah banyak memberiku pelajaran berharga melalui cerita-ceritanya.
Yah, sudah 7 hari aku berjumpa dengan A Kiong untuk sekadar berbincang-bincang.
***
Di hari kedelapan, aku tak menemukannya di masjid itu, walau sudah lama kumenunggu. Pun dengan hari kesembilan, dia tak tampak batang hidungnya. Di hari kesepuluh, aku mencoba untuk selalu solat berjamaah di masjid itu Tidak hanya Isya. Dzuhur, Ashar, Maghrib aku dirikan di masjid kampus. Mungkin dia di malam hari ada acara. Semoga di siang atau sore di masih bisa berjamaah di sini. Tapi hasilnya nihil. Dia tidak kelihatan selama tiga hari.
Di hari kesebelas setelah solat Isya, aku seperti biasa menunggunya. Tiba-tiba saja ada yang menyapaku
” Assalamualaikum,” ucap seseorang
Reflek aku menjawab
”Wa ’alakum salam,” jawabku.

Ternyata Mas Maulana,  takmir Masjid Kampus.
” Nunggu sapa dek ?” tanyanya
”Aaa...aanu mas, nunggu Mas A Kiong,” jawabku terbata.
”A Kiong? A Kiong siapa?,” tanyanya heran
“ Itu mas, orang  Tiong Hoa yang sering jamaah di sini, yang juga sering mengobrol dengan saya, setelah solat Isya di teras ini,” aku mencoba menjelaskan.
”Rasanya tidak ada dek, yang namanya A Kiong atau jamaah tetap masjid ini yang orang Cina,” ucapnya.

”Yang benar, mas?” aku tambah bingung.
”Kukira kemarin kamu latihan teater, berbicara sendiri di ujung teras itu. Sampai-sampai jamaah lain memperhatikan kamu,” ucapan mas Maulana membingungkanku.
Aku benar-benar bingung malam ini. Mas Maulana mengaku tak mengenal A Kiong dan bukankah dia mondar-mandir saat aku berbincang dengan dengan pemuda misterius itu. Bagaimana mungkin Mas Maulana tak tahu. Bagaimana bisa dia tidak melihatnya. Aneh...Malam itu, aku pulang dengan membawa kebingungan yang luar biasa.
Di hari-hari berikutnya, A Kiong tidak pernah muncul kembali.
***
Sebulan setelah kejadian itu, aku membaca sebuah majalah terbitan mahasiswa. Majalah itu bercerita tentang seluk beluk kampus. Termasuk asal usul pembangunan masjid kampus yang terkenal itu. Dan aku benar-benar kaget, saat tahu bahwa kawasan masjid itu awalnya adalah pekuburan masyarakat Tiong Hoa. Aku jadi teringat soal A Kiong.

”Mungkinkah dia...?”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bupati

"Sudah terima saja tawaran itu, Kang Parjo," ucap Kardimin dalam suatu perbincangan denganku. "Gundulmu, apa aku ini sanggup jadi bupati," jawabku ketus. "Loh, semua mendukungmu  lo kang. Bahkan Pak Badrun, pengusaha mebel di kota sana mau menggelontorkan dana besar untuk kemenanganmu kang," mulut Kardimin nrocos mirip politisi. "Aku tu cuma, mantan karang taruna dan bekerja sebagai relawan sosial saja. Siapa yang akan memilihku, min...min," jawabku ngeyel. "Kami siap mendukungmu kang. Partai mayoritas juga sudah sepakat untuk mengusungmu, jangan khawatir. Kamu itu terkenal lo kang. Terkenal ringan tangan membantu masyarakat. Tinggal kamu setuju  atau tidak," Kardimin menjelaskan. " Benar itu kang, sampeyan tinggal duduk manis. Ngga usah mikir soal kaos, poster, umbul-umbul. sudah ada yang mau bayari semua,"  Tukijo ikut-ikutan. "Pokoke tinggal beres, kang," Kardimin meyakinkan. "Ah nanti tak pikir-pikir dulu. I...

Cerita Kelinci di Bulan

Tiba-tiba saja, aku teringat masa kecil. Aku suka sekali melihat bulan saat keluar di malam hari. Apalagi bila purnama tiba, bisa lama memperhatikannya. Berdiri atau duduk sambil mengangkat kepala ke atas langit. Paling suka melihat di halaman depan yang luas . Saat itu, memang ada yang menarik perhatian. Bahkan merongrong rasa ingin tahuku. Kulihat di bulan, semburat sosok kelinci. Bagiku itu lucu. Bagaimana seekor kelinci bisa ada di langit sana. Setiap purnama, kuperhatikan betul kelinci itu. Tetap ada, tetap sama. Setelah beberapa kali melihat, aku pun beranikan bertanya kepada ayah, tentang kelinci itu. “Itu hewan peliharaan seorang putri yang terbang ke bulan, Nak,” jawab ayahku. “Kenapa putri itu ke bulan, yah?” “Suatu saat putri itu disuruh suaminya membeli minyak tanah. Dia pun berangkat dengan gembira. Dia memang sangat patuh dengan suaminya. Dengan berbekal uang pas, dia berangkat. Namun saat pulang dari membeli, dia kurang hati-hati dan menumpahkan minyak itu di t...