“Assalamualaikum,” sapa laki-laki itu
“Walaikum salam,” jawabku singkat.
“Lagi menunggu siapa, mas?”
“Wah, hanya cari udara segar di sini,”
“Iya di sini memang menyejukkan, mas. Sudah lama saya jadi jamaah sini,”
jawabnya.
Kuperhatikan lebih dekat laki-laki itu. Ah...matanya sipit, seperti orang Tiong
Hoa. Berbaju putih, berkopyah putih. Aku
jarang melihat motif sarung yang dikenakannya. Usianya masih tampak muda. Tiga
puluhan. Dan aku jarang melihat seorang Tiong Hoa muslim di sini. Hanya pernah
di televisi, itupun jarang…
“A Kiong,” dia tiba-tiba mengulurkan tangan
“ Muhammad A Kiong,” laki-laki itu melengkapi namanya.
“ Saputra,” jawabku, sambil menyambut uluran tangan.
“Sering ke sini, mas?” dia menyambung pembicaraan
“ Iya,”jawabku seperti mengabaikannya. ”Saya punya kawan di UGM, jadi sering ke
sini”
”Oh jadi anda bukan mahasiswa sini?”
” bukan, saya mahasiswa ISI, di daerah Bantul sana”
Kami basa-basi cukup lama. Berbincang tidak begitu jelas.
Hingga hatiku tiba-tiba tertarik berbincang dengannya lebih dalam. Mungkin
karena dia seorang Tiong Hoa muslim dan bagiku itu suatu yang aneh dan baru.
Rasanya aku ingin bertanya banyak.
“Maaf mas, Anda seorang Tiong Hoa atau…?”
Dia tersenyum. Aku takut dia tersinggung.Tapi syukurlah
“Iya,saya keturunan Cina. Keluarga saya sudah lama tinggal di sini. Sudah sejak
jaman Belanda. Kami turun temurun. Saya generasi keempat. Semuanya berdagang di
sini mas. Yah, kalau mau dibilang, saya ini warga Indonesia walau keturunan
Tiong Hoa. Mungkin mas tahu dari nama saya. A Kiong. Kwan Kiong Ji, lengkapnya.
”
Ah, orang ini tampak terbuka. Itu membuatku semakin berani bertanya tentang
dirinya, Mungkin awalnya dia yang tertarik kepadaku. Tapi kini justru aku yang
tertarik menginterograsinya. Sementara suasana masjid semakin sepi saja.
“Anda muslim?” tanyaku kepadanya, ah mungkin dengan muka aneh.
“Yah, saya muslim” jawabanya
“Sejak lahir?” tanyaku
“Tidak, sejak masjid ini berdiri, “ ucapnya singkat
“Sejak masjid ini berdiri? Benarkah?” aku mencoba mengklarifikasi
“Dulu, awalnya saya penganut agama lain, tapi sejak masjid ini berdiri, saya
senang melihat orang solat. Saya juga senang mendengarkan pengajian yang
digelar tiap sore. Semua yang saya dengarkan terasa menyejukkan di hati. Sampai
akhirnya saya memutuskan untuk masuk Islam, Setelah saya benar-benar
meyakininya. Dan nama Muhammad kemudian saya sandang. Ah... menurut saya, Islam
agama yang lengkap,” jelasnya.
Aku cukup tertarik mendengar cerita A Kiong. Tentu dia mengalami perjalanan
spiritual yang luar biasa. Dan sekilas pengamatanku, dia mungkin seorang yang
taat solat. Di keningnya terdapat bekas hitam sujud.
“Tentu anda mengalami perjalanan spiritual yang luar biasa?” telisikku
“Ah, biasa saja, yah saya punya prinsip. Apa yang saya yakini akan saya
jalankan. Jadi tak banyak yang luar
biasa,” dia menjawab sambil tertawa.
Tiba-tiba saja, telepon genggamku bergetar. Seorang kawan mengirim pesan
singkat, agar aku menjemputnya di kampus. Terpaksa aku harus berpamitan dengan
A Kiong, padahal omongan kami sudah sampai tahap yang menarik. Mungkin akan
kutemui dia besok malam. Semoga dia solat Isya lagi di masjid kampus.
***
Seperti yang sudah kurencanakan, malam berikutnya aku solat Isya di masjid itu.
Aku menunggu A Kiong. Benar saja, dia terlihat. Kali ini aku yang memanggilnya.
Dia pun menoleh kepadaku dan menghampiriku.
“Ah, Saputra, Assalamualaikum,”sapanya.
“’Alaikum salam,” balasku.
“ Cari angin lagi, mas?” tanyanya.
“Cari Anda juga, Saya tertarik dengan perbincangan kemarin,” jawabku sambil
tersenyum.
Dia tersenyum...lalu melangkah ke arahku
“Boleh, saya juga sedang tidak ada kerjaan”
Dia pun duduk di sampingku. Dan kami mulai berbincang-bincang seperti kemarin
malam.
“ Apa tanggapan keluarga saat Anda masuk Islam?” tanyaku
“ Tak apa, mereka sudah tak peduli. Ini urusan saya dengan Tuhan. Dan keyakinan
menurut saya tidak bisa diintervensi bukan?,”jawabnya.
“Di mana rumah anda?” tanyaku
“Di sekitar masjid ini,” dia menjelaskan
“Anda dosen?” aku penasaran
“ Bukan. Kemarin saya berkata keluarga saya pedagang semua. Atau apakah muka
saya mirip dosen?” ucapnya dengan nada bercanda
”Mungkin,” jawabku.
” Di mana letak rumah anda?”aku semakin pengen tahu.
Dia hanya menunjukkan suatu arah, dan aku hanya menganggukan kepala, seolah
paham betul di mana rumahnya. Kami pun mengobrol tentang banyak hal. Orang yang
menyenangkan menurutku.
Kami bicara tentang banyak, budaya, dagang, idealismenya, tentang agama.
Tetapi kulihat beberapa orang jamaah memperhatikan kami dengan tatapan aneh.
Seolah ada sesuatu yang janggal dengan kami, yang harus membuat mereka
mengernyitkan dahi. Termasuk takmir masjid kampus, mas Maulana yang sudah
kukenal lama. Dia mondar-mandir seolah ingin tahu apa yang sedang kami lakukan.
Aku abaikan saja mereka. Yang penting A Kiong telah banyak memberiku pelajaran
berharga melalui cerita-ceritanya.
Yah, sudah 7 hari aku berjumpa dengan A Kiong untuk sekadar berbincang-bincang.
***
Di hari kedelapan, aku tak menemukannya di masjid itu, walau sudah lama kumenunggu.
Pun dengan hari kesembilan, dia tak tampak batang hidungnya. Di hari kesepuluh,
aku mencoba untuk selalu solat berjamaah di masjid itu Tidak hanya Isya. Dzuhur,
Ashar, Maghrib aku dirikan di masjid kampus. Mungkin dia di malam hari ada
acara. Semoga di siang atau sore di masih bisa berjamaah di sini. Tapi hasilnya
nihil. Dia tidak kelihatan selama tiga hari.
Di hari kesebelas setelah solat Isya, aku seperti biasa menunggunya. Tiba-tiba
saja ada yang menyapaku
” Assalamualaikum,” ucap seseorang
Reflek aku menjawab
”Wa ’alakum salam,” jawabku.
Ternyata Mas Maulana, takmir Masjid
Kampus.
” Nunggu sapa dek ?” tanyanya
”Aaa...aanu mas, nunggu Mas A Kiong,” jawabku terbata.
”A Kiong? A Kiong siapa?,” tanyanya heran
“ Itu mas, orang Tiong Hoa yang sering
jamaah di sini, yang juga sering mengobrol dengan saya, setelah solat Isya di
teras ini,” aku mencoba menjelaskan.
”Rasanya tidak ada dek, yang namanya A Kiong atau jamaah tetap masjid ini yang
orang Cina,” ucapnya.
”Yang benar, mas?” aku tambah bingung.
”Kukira kemarin kamu latihan teater, berbicara sendiri di ujung teras itu.
Sampai-sampai jamaah lain memperhatikan kamu,” ucapan mas Maulana
membingungkanku.
Aku benar-benar bingung malam ini. Mas Maulana mengaku tak mengenal A Kiong dan
bukankah dia mondar-mandir saat aku berbincang dengan dengan pemuda misterius
itu. Bagaimana mungkin Mas Maulana tak tahu. Bagaimana bisa dia tidak
melihatnya. Aneh...Malam itu, aku pulang dengan membawa kebingungan yang luar
biasa.
Di hari-hari berikutnya, A Kiong tidak pernah muncul kembali.
***
Sebulan setelah kejadian itu, aku membaca sebuah majalah terbitan mahasiswa. Majalah itu bercerita tentang seluk beluk kampus. Termasuk asal usul
pembangunan masjid kampus yang terkenal itu. Dan aku benar-benar kaget, saat
tahu bahwa kawasan masjid itu awalnya adalah pekuburan masyarakat Tiong Hoa. Aku jadi
teringat soal A Kiong.
”Mungkinkah dia...?”
Komentar
Posting Komentar