Langsung ke konten utama

Bupati


"Sudah terima saja tawaran itu, Kang Parjo," ucap Kardimin dalam suatu perbincangan denganku.
"Gundulmu, apa aku ini sanggup jadi bupati," jawabku ketus.
"Loh, semua mendukungmu  lo kang. Bahkan Pak Badrun, pengusaha mebel di kota sana mau menggelontorkan dana besar untuk kemenanganmu kang," mulut Kardimin nrocos mirip politisi.
"Aku tu cuma, mantan karang taruna dan bekerja sebagai relawan sosial saja. Siapa yang akan memilihku, min...min," jawabku ngeyel.
"Kami siap mendukungmu kang. Partai mayoritas juga sudah sepakat untuk mengusungmu, jangan khawatir. Kamu itu terkenal lo kang. Terkenal ringan tangan membantu masyarakat. Tinggal kamu setuju  atau tidak," Kardimin menjelaskan.
" Benar itu kang, sampeyan tinggal duduk manis. Ngga usah mikir soal kaos, poster, umbul-umbul. sudah ada yang mau bayari semua,"  Tukijo ikut-ikutan.
"Pokoke tinggal beres, kang," Kardimin meyakinkan.
"Ah nanti tak pikir-pikir dulu. Ini bukan urusan mau  dan tak mau. Tapi urusan mampu dan tak mampu,"jawabku
" Jangan  kakean mikir, kang. Ini kesempatan yang harus segera disambar. Kapan lagi orang desa seperti kita jadi Bupati. Siapa tahu aku bisa kamu angkat jadi Kepala Dinas kang, hahahaha," gelak tawa menggelegar.

***
Malam ini aku tidak bisa tidur, memikirkan obrolan tadi sore. Di daerahku memang baru aku akan ada pilihan Bupati. Masalahnya, adalah banyak yang mencalonkanku. Padahal aku bukan siapa-siapa. Wong aku ya cuma mantan anggota karang taruna. Dulu memang aktif membantu sana-sini. Nah sekarang aku juga cuma bekerja sebagai tukang kayu sambil buka warung klontong kecil-kecilan. Kadang membantu manen sawah tetangga yang lagi panen. Atau rewang kalau tetangga yang lagi bangun rumah.  Lah kok tiba-tiba ketiban pulung, diminta maju jadi bupati.                      .

Kemarin sore seorang purnawirawan jendral datang ke rumahku. Mobilnya kinyis-kinyis parkir di depan langgar. Dia adalah Brigjen Suparto. Sewaktu masih melati dua dia pernah jadi dandim di sini, sebelum dipanggil ke Mabes. Aku mengenalnya saat aktif di kabupaten dulu.

"Apa kabar Mas Parjo, lama kita tak berjumpa," ucapnya.
"Baik pak, Loh ada apa kok tiba-tiba berkenan datang ke desa saya,"jawabku
"Saya itu walaupun sudah pensiun masih mendengar kiprah mas Parjo,"jawabanya sambil nyengir.
" Kiprah apa nggih Pak," tanyaku heran.
" Jangan pura-pura, mas. Sampeyan ini calon kuat lo jadi Bupati," katanya.
" Ah, itu rumor pak," jawabku.
" Rumor bagaimana? Wong semua orang mendukung. Wis jangan takut mas. Kalau soal kampanye saya siap menyokong," ucapanya.
"Wah saya masih ragu pak,"jawabku
"Jangan ragu, banyak yang mendukung. para pengusaha di kota saya dengar juga minat menyumbang dana," dia menegaskan.

Dua hari sebelumnya. malah Juragan Sadiyo, Ketua Asosiasi Pedagang Kedelai datang, membawa oleh-oleh. 
" Kang Parjo, maju aja. Seluruh pedagang kedelai se-Kabupaten ini sudah siap mendukung turun ke jalan, Bahkan para petani kedelai juga mau membantu, Loh sampeyan ini Top Loh, " katanya sambil menggebu-gebu.
" Saya bingung masih mikir Juragan," jawabku
" Hush mikir opo, soal kampanye? Santai aja. Kaos, spanduk, umbul-umbul, asosiasi yang akan sokong Kang. Sampeyan tinggal duduk manis," katanya meyakinkan.

 
Ah embuh. Aku juga bingung. Ada banyak hal yang jadi pertimbanganku. Kenapa tiba-tiba orang pengen mengajukanku? Apa hebatku? Apa mereka cuma ingin menjadikanku boneka untuk kepentinganya.  Mereka berpikir orang seperti aku ini mudah di-setir. Para pengusaha itu kalau aku sudah naik, pasti akan minta jatah proyek pengadaan sana-sini. Orang-orang partai itu, pasti akan minta kursi jabatan kepala ini kepala itu.  

Aku juga membayangkan kalau aku benar jadi bupati.  Pasti ga bebas lagi. Harus ke sana kemari. Ga bisa ngarit cari rumput. Ga bisa nukang.  Yah mungkin keren ke sana kemari pakai mobil AC. Walah malah nanti masuk angin. Anakku pasti  juga bergaya, punya ayah bupati. Kepikiran kalau anaku juga ikut minta jatah sana-sini, karena merasa anak bupati. Apa aku ga malu sama Tuhan. Mentang-mentang ayahnya pejabat bisa seenak jidat.

Tak sengaja aku pun terlelap. 

***

"Sudah saya bilang, sampeyan itu harusnya  main alus Pak, kalau sudah ketangkep begini, saya ga bisa bantu," ucap  Sadiyo kepadaku.
"Kamu yang bujuk bujuk saya supaya perusahaanmu bisa masuk," balasku.
" Lah kan sampeyan Bupati, harusnya bisa mengkondisikan situasi. Kalau sudah ketangkap dari pusat begini, susah lolosnya Pak karena langsung dipantau presiden," ucapnya, sebelum kami digiring ke ruang pemeriksaan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Muhammad A Kiong

Jika ditanya soal tempat yang paling nyaman selain kamarku, jawabnya adalah masjid kampus UGM. Walaupun aku sendiri bukan mahasiswa universitas itu. Terkadang bisa berjam-jam aku duduk di sana, membaca buku atau diskusi bersama kawan. Hawanya begitu menyejukkan. Tempatnya pun bersih dan indah. Hingga suatu hari aku bertemu dengan laki-laki aneh. Seseorang yang sangat mengagumkan sekaligus membingunganku. Saat itu, aku baru saja solat isya di sana. Usai berdoa, seperti biasa aku duduk di teras masjid. Menatap ke dalam lapangan luas berpohon palem. Untuk sekadar menghirup udara segar. Malam itu cukup cerah, bulan tak malu menampakkan diri. Padahal sore tadi, Jogja sempat diguyur hujan deras. “Assalamualaikum,” sapa laki-laki itu “Walaikum salam,” jawabku singkat. “Lagi menunggu siapa, mas?” “Wah, hanya cari udara segar di sini,” “Iya di sini memang menyejukkan, mas. Sudah lama saya jadi jamaah sini,” jawabnya. Kuperhatikan lebih dekat laki-laki itu. Ah...matanya sipit, seperti oran...

Cerita Kelinci di Bulan

Tiba-tiba saja, aku teringat masa kecil. Aku suka sekali melihat bulan saat keluar di malam hari. Apalagi bila purnama tiba, bisa lama memperhatikannya. Berdiri atau duduk sambil mengangkat kepala ke atas langit. Paling suka melihat di halaman depan yang luas . Saat itu, memang ada yang menarik perhatian. Bahkan merongrong rasa ingin tahuku. Kulihat di bulan, semburat sosok kelinci. Bagiku itu lucu. Bagaimana seekor kelinci bisa ada di langit sana. Setiap purnama, kuperhatikan betul kelinci itu. Tetap ada, tetap sama. Setelah beberapa kali melihat, aku pun beranikan bertanya kepada ayah, tentang kelinci itu. “Itu hewan peliharaan seorang putri yang terbang ke bulan, Nak,” jawab ayahku. “Kenapa putri itu ke bulan, yah?” “Suatu saat putri itu disuruh suaminya membeli minyak tanah. Dia pun berangkat dengan gembira. Dia memang sangat patuh dengan suaminya. Dengan berbekal uang pas, dia berangkat. Namun saat pulang dari membeli, dia kurang hati-hati dan menumpahkan minyak itu di t...