Langsung ke konten utama

Jadi Kapan

1. Jadi kapan terakhir aku mengunjungi masjid ini?

Pak Choiri, imam masjid sewaktu aku masih menjalani studi, telah tiada. Entah sakit apa dia. Mungkin sedang berbahagia di alam barzah sana.

2. Jadi kapan terakhir aku mengunjungi masjid ini?

Pak Dasuki, tetanggaku yang selalu rajin solat lima waktu, juga telah tiada beberapa hari yang lalu. Kata tetanggaku malam hari dia wafat dan pergi.

3. Jadi kapan terakhir aku mengunjungi masjid ini?

Anak Mas Agus yang dulu sering lari-lari kejar-kejaran tak berhenti, Kini sudah berdiri diam diantara shof laki-laki. Solat dengan khusuk tidak berlari-lari.

4. Jadi kapan terakhir aku mengunjungi masjid ini?

Pak Suroto imam pengganti Pak Choiri, kini tak sanggup lagi ke masjid, setelah jantungnya dioperasi.

5. Jadi kapan terakhir aku mengunjungi masjid ini?

Pak Budi tetangga sebelah. Seorang mantan pegawai pengadilan negeri yang rajin menyambangi masjid ini dan kadang menjadi imam pengganti kelihatan lebih kurus namun masih bisa berdiri.

6. Jadi entah berapa lama aku belum mengunjungi masjid ini?

Aku ingat dulu di sini aku diminta menjadi ketua remaja masjid di kampung ini, tapi aku melarikan diri karena majalah berlabel kiri mendaulatku jadi pemimpin redaksi.

7. Jadi kapan terakhir aku mengunjungi masjid ini?

Mas Ardian dan Mas Agus yang merupakan mantan ketua remaja masjid  masih setia menghadiri solat lima waktu, Mas Ardian masih menjadi guru dan Mas Agus tetap sebagai pegawai negeri.

8. Jadi kapan terakhir aku mengunjungi masjid ini?

Pak Darminto yang selalu ramah menyapaku saat berjumpa, tetap seperti dulu. Namun kulihat tak sesemangat dahulu.

9. Jadi kapan terakhir aku mengunjungi masjid ini?

Beberapa jamaah baru tak kukenali, jamaah-jamaah lama seolah berubah wujud diri. Yang balita menjadi pemuda, yang remaja menjadi dewasa, dan yang dewasa menjadi renta

Jadi kapan terakhir aku mengunjungi masjid ini?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Muhammad A Kiong

Jika ditanya soal tempat yang paling nyaman selain kamarku, jawabnya adalah masjid kampus UGM. Walaupun aku sendiri bukan mahasiswa universitas itu. Terkadang bisa berjam-jam aku duduk di sana, membaca buku atau diskusi bersama kawan. Hawanya begitu menyejukkan. Tempatnya pun bersih dan indah. Hingga suatu hari aku bertemu dengan laki-laki aneh. Seseorang yang sangat mengagumkan sekaligus membingunganku. Saat itu, aku baru saja solat isya di sana. Usai berdoa, seperti biasa aku duduk di teras masjid. Menatap ke dalam lapangan luas berpohon palem. Untuk sekadar menghirup udara segar. Malam itu cukup cerah, bulan tak malu menampakkan diri. Padahal sore tadi, Jogja sempat diguyur hujan deras. “Assalamualaikum,” sapa laki-laki itu “Walaikum salam,” jawabku singkat. “Lagi menunggu siapa, mas?” “Wah, hanya cari udara segar di sini,” “Iya di sini memang menyejukkan, mas. Sudah lama saya jadi jamaah sini,” jawabnya. Kuperhatikan lebih dekat laki-laki itu. Ah...matanya sipit, seperti oran...

Bupati

"Sudah terima saja tawaran itu, Kang Parjo," ucap Kardimin dalam suatu perbincangan denganku. "Gundulmu, apa aku ini sanggup jadi bupati," jawabku ketus. "Loh, semua mendukungmu  lo kang. Bahkan Pak Badrun, pengusaha mebel di kota sana mau menggelontorkan dana besar untuk kemenanganmu kang," mulut Kardimin nrocos mirip politisi. "Aku tu cuma, mantan karang taruna dan bekerja sebagai relawan sosial saja. Siapa yang akan memilihku, min...min," jawabku ngeyel. "Kami siap mendukungmu kang. Partai mayoritas juga sudah sepakat untuk mengusungmu, jangan khawatir. Kamu itu terkenal lo kang. Terkenal ringan tangan membantu masyarakat. Tinggal kamu setuju  atau tidak," Kardimin menjelaskan. " Benar itu kang, sampeyan tinggal duduk manis. Ngga usah mikir soal kaos, poster, umbul-umbul. sudah ada yang mau bayari semua,"  Tukijo ikut-ikutan. "Pokoke tinggal beres, kang," Kardimin meyakinkan. "Ah nanti tak pikir-pikir dulu. I...

Cerita Kelinci di Bulan

Tiba-tiba saja, aku teringat masa kecil. Aku suka sekali melihat bulan saat keluar di malam hari. Apalagi bila purnama tiba, bisa lama memperhatikannya. Berdiri atau duduk sambil mengangkat kepala ke atas langit. Paling suka melihat di halaman depan yang luas . Saat itu, memang ada yang menarik perhatian. Bahkan merongrong rasa ingin tahuku. Kulihat di bulan, semburat sosok kelinci. Bagiku itu lucu. Bagaimana seekor kelinci bisa ada di langit sana. Setiap purnama, kuperhatikan betul kelinci itu. Tetap ada, tetap sama. Setelah beberapa kali melihat, aku pun beranikan bertanya kepada ayah, tentang kelinci itu. “Itu hewan peliharaan seorang putri yang terbang ke bulan, Nak,” jawab ayahku. “Kenapa putri itu ke bulan, yah?” “Suatu saat putri itu disuruh suaminya membeli minyak tanah. Dia pun berangkat dengan gembira. Dia memang sangat patuh dengan suaminya. Dengan berbekal uang pas, dia berangkat. Namun saat pulang dari membeli, dia kurang hati-hati dan menumpahkan minyak itu di t...