Langsung ke konten utama

Cerita Kelinci di Bulan


Tiba-tiba saja, aku teringat masa kecil. Aku suka sekali melihat bulan saat keluar di malam hari. Apalagi bila purnama tiba, bisa lama memperhatikannya. Berdiri atau duduk sambil mengangkat kepala ke atas langit. Paling suka melihat di halaman depan yang luas.

Saat itu, memang ada yang menarik perhatian. Bahkan merongrong rasa ingin tahuku. Kulihat di bulan, semburat sosok kelinci. Bagiku itu lucu. Bagaimana seekor kelinci bisa ada di langit sana.

Setiap purnama, kuperhatikan betul kelinci itu. Tetap ada, tetap sama. Setelah beberapa kali melihat, aku pun beranikan bertanya kepada ayah, tentang kelinci itu.

“Itu hewan peliharaan seorang putri yang terbang ke bulan, Nak,” jawab ayahku.

“Kenapa putri itu ke bulan, yah?”

“Suatu saat putri itu disuruh suaminya membeli minyak tanah. Dia pun berangkat dengan gembira. Dia memang sangat patuh dengan suaminya. Dengan berbekal uang pas, dia berangkat. Namun saat pulang dari membeli, dia kurang hati-hati dan menumpahkan minyak itu di tanah.”

“ Lalu yah?”

“Karena dia tidak cukup punya uang, sedang dia takut dimarahi suaminya, maka dia punya cara lain. Dia mengambil tanah yang tertumpahi minyak itu, lalu memerasnya”

“Terus bagaimana?”

“Dia berhasil mendapatkan minyak kembali”

“Terus hubungannya dengan bulan, Yah”

“Begini, saat diperas, ternyata tanah marah kepada putri tersebut. Karena merasa minyak itu sudah menjadi haknya. Tanah mengutuk, bahwa besok kalau putri itu mati, tanah akan menghimpitnya”

“Oooo”

“Karena takut putri itu pun pergi ke bulan. Dan sebagai temannya dia membawa kelinci, yang sering kau lihat itu”

“Begitu ya?”jawabku pada waktu itu, ragu.

***

Cerita ayah sebenarnya belum menjawab rasa penasaranku. Pertanyaan bagaimana putri itu bisa sampai ke bulan, belum terjawab. Dan kusimpan saja dalam hati. Baru setelah duduk di kelas 5 SD, aku tahu bahwa gambar kelinci itu sebenarnya adalah kawah-kawah di bulan. Tapi kenapa bisa terlihat seperti kelinci. Sungguh menakjubkan bagiku.

Di kelas 5 SD itu pulalah pertanyaanku tentang hilangnya bulan karena siklus alam juga terjawab. Dahulu yang kutahu bulan itu hilang karena dicaplok kepala raksasa yang tubuhnya ada di bumi. Makanya saat gerhana bulan tiba, tetangga-tetangga kakek di desa memukul lesung. Katanya, supaya bulan dimuntahkan kembali oleh sang raksasa. Aku percaya cerita itu sampai kelas 5 SD. Setelah itu tidak. Semua terjawab.

Tapi walaupun begitu, aku tetap menikmati indahnya bulan saat purnama. Tanggal 14, 15, dalam penanggalan Jawa adalah puncak siklus itu. Sungguh indahnya malam. Itu juga kalau tidak mendung. Kalau awan menutup indahnya cahayanya, ya sudah aku menyerah saja.

***

Tapi saat ini, aku tak mampu lagi menikmati indahnya bulan itu. Tak mampu lagi melihat sosok kelinci yang aku senangi dulu. Semuanya hilang musnah. Aku tak bisa lagi berjam-jam menungguinya, menatapnya dengan rasa penasaran seperti waktu kecil dulu.

Aku seperti kehilangan kesenangan yang bisa kudapatkan dengan murah. Ah, aku harus bekerja dalam ruangan tanpa cahaya. Bahkan matahari yang tajam pun tak lagi bisa menembus kegelapan ruang kerjakku.

Aku hanya bisa mengandalkan 4 indera lain selain mata. Duniaku belum mati, tapi untuk sementara inilah aku. Aku bekerja sebagai tukang pijat keliling yang penghasilannya tidak seberapa. Sejak kecelakaan itu, aku tidak memilki peluang lain selain menjalani profesi ini. Tapi, syukur tetap kupanjatkan kepada Tuhan. Orang-orang begitu baik kepadaku. Kata mereka, selalu ada petuah bijak yang selalu muncul dari mulutku saat memijat orang. Tukang pijat sekaligus seorang resi, begitu mereka bilang kepadaku. Dan rupanya mereka senang dengan kata-kataku. Bagiku bercerita tentang hal yang baik adalah ibadah. Sebagai amalan jariyah yang mungkin berguna di kemudian hari.

Bahkan ada langganan yang konon mencatat seluruh omonganku. Ah, tidak apa-apa. Apalagi yang bisa diandalkan dari seorang seperti aku ini. Bagaimana dia mencatatnya sedang dia sedang dipijat, sering tanyaku dalam hati.

“Saya pernah merekamnya, pak. Atau saya catat setelah dipijat, hahaha...iseng-iseng saja, tapi bapak memang seperti motivator yang di televisi-televisi itu,” katanya terdengar tertawa.

Hingga pernah suatu kali aku disuruh memijat seorang anak, pengusaha kaya. Katanya rumahnya bagus, berloteng. Aku pun tak tahu sebagus apa rumah itu. Yang kuheran, kenapa seorang sekaya itu memanggilku, tukang pijat kampung. Kenapa tidak pergi ke spa atau tukang pijat yang lebih bonafit. Tapi menurut ayah anak itu, aku dikenalnya dari mulut ke mulut. Banyak yang kemudian menyarankan menyewa jasaku untuk memijat.

Aku ke sana diantar tetanggaku. Katanya setelah selesai akan dijemput lagi. Setelah masuk rumah yang terasa dingin, mungkin menggunakan AC, aku langsung diantar ke ruang di mana anak itu berada. Mungkin dia anak SD, mungkin juga kelas 5. Ah...usia di mana aku berhasil menemukan jawaban-jawaban atas kegelisahanku tentang bulan.

Memijat anak kecil tidak sperti memijat orang dewasa. Harus pelan-pelan supaya tidak menimbulkan rasa sakit. Walau tak seberapa aku punya kemmpuan mendeteksi jenis penyakit. Ah, anak ini hanya salah urat saja. Anak kecil selalu bergerak ke sana kemari. Supaya tidak bosan, aku mencoba bercerita kepadanya.

“Namamu siapa nak?”

“Chandra, Pak?

“Oh, itu artinya bulan nak”

“Oh begitu ya, Pak. Baru tahu aku pak”

“Iya, anakku. Kamu kelas berapa nak”

“Kelas 5 SD mau naik kelas 6,” jawabnya singkat. Benar dugaanku tadi.

“Kamu sering melihat bulan nak?”

“Terkadang Pak”

“Apakah kamu pernah memperhatikan kalau di bulan ada seekor kelinci, nak?”

“Heheheha, iya, pak, terkadang saya berpikir apakah itu kelinci atau bukan, tapi kalau kelinci bagaimana dia bisa sampai sana, Pak, naik apa, ya?”tanyanya lugu.

“ Itu pertanyaan sama yang pernah ada di hati Bapak, saat masih kecil dulu , saat bapak masih bisa melihat indahnya bulan. Tapi kalau menurut cerita ayah bapak, seperti ini”

Lalu pun becerita tentang dongeng yang pernah ayah ceritakan padaku.

“Oh begitu”

“Itu sebenarnya hanya dongeng nak. Sebenarnya kelinci-kelinci itu hanya kawah atau lubang yang ada di bulan sana”

“Iya bu guru mungkin pernah memberi tahu seperti itu.”

“Iya nak” Kutahu dari cara berbicara anak ini cerdas, mungkin di atas rata-rata teman sebayanya.

“Apakah bapak dahulu pernah melihat sehingga bisa bercerita tentang bulan,”tanyanya kepadaku

“Iya, nak, sewaktu kecil bapak bisa melihat dan senang skali menikmati bulan, tapi karena suatu kecelakaan,bapak tak bisa melihat lagi. Dahulu bapak senang sekali melihat bulan, terkadang sampai satu jam bapak memandanginya”

“Apa yang membuat bapak senang dengan bulan”

“Tidak tahu, nak. Yang bapak rasakan saat ini, ingin sekali menikmati indahnya bulan kembali. Tapi rasanya itu begitu sulit. Bahkan tidak mungkin, entahlah apakah penglihatan bapak bisa dikembalikan atau tidak? Yang jelas kita memang harus menghadapi kenyataan hidup nak. Tidak boleh menyesali.”

“Ya, mungkin penglihatan bapak bisa dikembalikan lagi suatu saat,” tukasnya pelan. Omongan dengan nada yang mungkin tak sesuai dengan usianya yang masih belia.

Aku pun melanjutkan memijat tubuhnya, kuurut kakinya dengan hati-hati. Sampai akhirnya aku selesaikan semuanya.

***

Menatap bulan seperti inilah yang kudamba beberapa tahun terakhir . Kelinci itu sudah bisa kupandangi lagi, walau sebenarnya masih kelihatan kabur. Tapi aku tetap senang, bahkan senang sekali. Kesenangan yang dulu hilang kini kembali lagi tanpa diduga-duga.

Ah, aku kini tak sendiri menatap bulan. Ada teman yang sekarang menemaniku.... Anak orang kaya yang dulu pernah kupijat itu. Dialah yang membuatku bisa menatap bulan seperti dahulu. Dialah yang mengembalikan kenangan masa kecilku. Berkat dialah aku bisa melihat lagi. Dia yang meminta ayahnya untuk mau membiaya operasi pencangkokan mataku. Dan ayahnya pun mengabulkan.

Kini aku bekerja di rumahnya. Dan saat bulan purnama tiba, kami duduk di atas rumah untuk menatap kelinci sang dewi. Semuanya indah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Muhammad A Kiong

Jika ditanya soal tempat yang paling nyaman selain kamarku, jawabnya adalah masjid kampus UGM. Walaupun aku sendiri bukan mahasiswa universitas itu. Terkadang bisa berjam-jam aku duduk di sana, membaca buku atau diskusi bersama kawan. Hawanya begitu menyejukkan. Tempatnya pun bersih dan indah. Hingga suatu hari aku bertemu dengan laki-laki aneh. Seseorang yang sangat mengagumkan sekaligus membingunganku. Saat itu, aku baru saja solat isya di sana. Usai berdoa, seperti biasa aku duduk di teras masjid. Menatap ke dalam lapangan luas berpohon palem. Untuk sekadar menghirup udara segar. Malam itu cukup cerah, bulan tak malu menampakkan diri. Padahal sore tadi, Jogja sempat diguyur hujan deras. “Assalamualaikum,” sapa laki-laki itu “Walaikum salam,” jawabku singkat. “Lagi menunggu siapa, mas?” “Wah, hanya cari udara segar di sini,” “Iya di sini memang menyejukkan, mas. Sudah lama saya jadi jamaah sini,” jawabnya. Kuperhatikan lebih dekat laki-laki itu. Ah...matanya sipit, seperti oran...

Bupati

"Sudah terima saja tawaran itu, Kang Parjo," ucap Kardimin dalam suatu perbincangan denganku. "Gundulmu, apa aku ini sanggup jadi bupati," jawabku ketus. "Loh, semua mendukungmu  lo kang. Bahkan Pak Badrun, pengusaha mebel di kota sana mau menggelontorkan dana besar untuk kemenanganmu kang," mulut Kardimin nrocos mirip politisi. "Aku tu cuma, mantan karang taruna dan bekerja sebagai relawan sosial saja. Siapa yang akan memilihku, min...min," jawabku ngeyel. "Kami siap mendukungmu kang. Partai mayoritas juga sudah sepakat untuk mengusungmu, jangan khawatir. Kamu itu terkenal lo kang. Terkenal ringan tangan membantu masyarakat. Tinggal kamu setuju  atau tidak," Kardimin menjelaskan. " Benar itu kang, sampeyan tinggal duduk manis. Ngga usah mikir soal kaos, poster, umbul-umbul. sudah ada yang mau bayari semua,"  Tukijo ikut-ikutan. "Pokoke tinggal beres, kang," Kardimin meyakinkan. "Ah nanti tak pikir-pikir dulu. I...