Tiba-tiba saja, aku teringat masa kecil. Aku suka sekali melihat bulan saat keluar di malam hari. Apalagi bila purnama tiba, bisa lama memperhatikannya. Berdiri atau duduk sambil mengangkat kepala ke atas langit. Paling suka melihat di halaman depan yang luas.
Saat itu, memang ada yang
menarik perhatian. Bahkan merongrong rasa ingin tahuku. Kulihat di bulan,
semburat sosok kelinci. Bagiku itu lucu. Bagaimana seekor kelinci bisa ada di
langit sana.
Setiap purnama, kuperhatikan
betul kelinci itu. Tetap ada, tetap sama. Setelah beberapa kali melihat, aku
pun beranikan bertanya kepada ayah, tentang kelinci itu.
“Itu hewan peliharaan
seorang putri yang terbang ke bulan, Nak,” jawab ayahku.
“Kenapa putri itu ke bulan,
yah?”
“Suatu saat putri itu
disuruh suaminya membeli minyak tanah. Dia pun berangkat dengan gembira. Dia
memang sangat patuh dengan suaminya. Dengan berbekal uang pas, dia berangkat.
Namun saat pulang dari membeli, dia kurang hati-hati dan menumpahkan minyak itu
di tanah.”
“ Lalu yah?”
“Karena dia tidak cukup
punya uang, sedang dia takut dimarahi suaminya, maka dia punya cara lain. Dia
mengambil tanah yang tertumpahi minyak itu, lalu memerasnya”
“Terus bagaimana?”
“Dia berhasil mendapatkan
minyak kembali”
“Terus hubungannya dengan
bulan, Yah”
“Begini, saat diperas,
ternyata tanah marah kepada putri tersebut. Karena merasa minyak itu sudah
menjadi haknya. Tanah mengutuk, bahwa besok kalau putri itu mati, tanah akan
menghimpitnya”
“Oooo”
“Karena takut putri itu pun
pergi ke bulan. Dan sebagai temannya dia membawa kelinci, yang sering kau lihat
itu”
“Begitu ya?”jawabku pada
waktu itu, ragu.
***
Cerita ayah sebenarnya belum
menjawab rasa penasaranku. Pertanyaan bagaimana putri itu bisa sampai ke bulan,
belum terjawab. Dan kusimpan saja dalam hati. Baru setelah duduk di kelas 5 SD,
aku tahu bahwa gambar kelinci itu sebenarnya adalah kawah-kawah di bulan. Tapi
kenapa bisa terlihat seperti kelinci. Sungguh menakjubkan bagiku.
Di kelas 5 SD itu pulalah
pertanyaanku tentang hilangnya bulan karena siklus alam juga terjawab. Dahulu
yang kutahu bulan itu hilang karena dicaplok kepala raksasa yang tubuhnya ada
di bumi. Makanya saat gerhana bulan tiba, tetangga-tetangga kakek di desa
memukul lesung. Katanya, supaya bulan dimuntahkan kembali oleh sang raksasa.
Aku percaya cerita itu sampai kelas 5 SD. Setelah itu tidak. Semua terjawab.
Tapi walaupun begitu, aku
tetap menikmati indahnya bulan saat purnama. Tanggal 14, 15, dalam penanggalan
Jawa adalah puncak siklus itu. Sungguh indahnya malam. Itu juga kalau tidak
mendung. Kalau awan menutup indahnya cahayanya, ya sudah aku menyerah saja.
***
Tapi saat ini, aku tak mampu
lagi menikmati indahnya bulan itu. Tak mampu lagi melihat sosok kelinci yang
aku senangi dulu. Semuanya hilang musnah. Aku tak bisa lagi berjam-jam
menungguinya, menatapnya dengan rasa penasaran seperti waktu kecil dulu.
Aku seperti kehilangan
kesenangan yang bisa kudapatkan dengan murah. Ah, aku harus bekerja dalam
ruangan tanpa cahaya. Bahkan matahari yang tajam pun tak lagi bisa menembus
kegelapan ruang kerjakku.
Aku hanya bisa mengandalkan
4 indera lain selain mata. Duniaku belum mati, tapi untuk sementara inilah aku.
Aku bekerja sebagai tukang pijat keliling yang penghasilannya tidak seberapa.
Sejak kecelakaan itu, aku tidak memilki peluang lain selain menjalani profesi
ini. Tapi, syukur tetap kupanjatkan kepada Tuhan. Orang-orang begitu baik
kepadaku. Kata mereka, selalu ada petuah bijak yang selalu muncul dari mulutku
saat memijat orang. Tukang pijat sekaligus seorang resi, begitu mereka bilang
kepadaku. Dan rupanya mereka senang dengan kata-kataku. Bagiku bercerita
tentang hal yang baik adalah ibadah. Sebagai amalan jariyah yang mungkin
berguna di kemudian hari.
Bahkan ada langganan yang
konon mencatat seluruh omonganku. Ah, tidak apa-apa. Apalagi yang bisa
diandalkan dari seorang seperti aku ini. Bagaimana dia mencatatnya sedang dia
sedang dipijat, sering tanyaku dalam hati.
“Saya pernah merekamnya,
pak. Atau saya catat setelah dipijat, hahaha...iseng-iseng saja, tapi bapak
memang seperti motivator yang di televisi-televisi itu,” katanya terdengar
tertawa.
Hingga pernah suatu kali aku
disuruh memijat seorang anak, pengusaha kaya. Katanya rumahnya bagus,
berloteng. Aku pun tak tahu sebagus apa rumah itu. Yang kuheran, kenapa seorang
sekaya itu memanggilku, tukang pijat kampung. Kenapa tidak pergi ke spa atau
tukang pijat yang lebih bonafit. Tapi menurut ayah anak itu, aku dikenalnya
dari mulut ke mulut. Banyak yang kemudian menyarankan menyewa jasaku untuk
memijat.
Aku ke sana diantar
tetanggaku. Katanya setelah selesai akan dijemput lagi. Setelah masuk rumah
yang terasa dingin, mungkin menggunakan AC, aku langsung diantar ke ruang di
mana anak itu berada. Mungkin dia anak SD, mungkin juga kelas 5. Ah...usia di
mana aku berhasil menemukan jawaban-jawaban atas kegelisahanku tentang bulan.
Memijat anak kecil tidak
sperti memijat orang dewasa. Harus pelan-pelan supaya tidak menimbulkan rasa
sakit. Walau tak seberapa aku punya kemmpuan mendeteksi jenis penyakit. Ah,
anak ini hanya salah urat saja. Anak kecil selalu bergerak ke sana kemari.
Supaya tidak bosan, aku mencoba bercerita kepadanya.
“Namamu siapa nak?”
“Chandra, Pak?
“Oh, itu artinya bulan nak”
“Oh begitu ya, Pak. Baru
tahu aku pak”
“Iya, anakku. Kamu kelas
berapa nak”
“Kelas 5 SD mau naik kelas
6,” jawabnya singkat. Benar dugaanku tadi.
“Kamu sering melihat bulan
nak?”
“Terkadang Pak”
“Apakah kamu pernah
memperhatikan kalau di bulan ada seekor kelinci, nak?”
“Heheheha, iya, pak,
terkadang saya berpikir apakah itu kelinci atau bukan, tapi kalau kelinci
bagaimana dia bisa sampai sana, Pak, naik apa, ya?”tanyanya lugu.
“ Itu pertanyaan sama yang
pernah ada di hati Bapak, saat masih kecil dulu , saat bapak masih bisa melihat
indahnya bulan. Tapi kalau menurut cerita ayah bapak, seperti ini”
Lalu pun becerita tentang
dongeng yang pernah ayah ceritakan padaku.
“Oh begitu”
“Itu sebenarnya hanya
dongeng nak. Sebenarnya kelinci-kelinci itu hanya kawah atau lubang yang ada di
bulan sana”
“Iya bu guru mungkin pernah
memberi tahu seperti itu.”
“Iya nak” Kutahu dari cara
berbicara anak ini cerdas, mungkin di atas rata-rata teman sebayanya.
“Apakah bapak dahulu pernah
melihat sehingga bisa bercerita tentang bulan,”tanyanya kepadaku
“Iya, nak, sewaktu kecil
bapak bisa melihat dan senang skali menikmati bulan, tapi karena suatu
kecelakaan,bapak tak bisa melihat lagi. Dahulu bapak senang sekali melihat
bulan, terkadang sampai satu jam bapak memandanginya”
“Apa yang membuat bapak
senang dengan bulan”
“Tidak tahu, nak. Yang bapak
rasakan saat ini, ingin sekali menikmati indahnya bulan kembali. Tapi rasanya
itu begitu sulit. Bahkan tidak mungkin, entahlah apakah penglihatan bapak bisa
dikembalikan atau tidak? Yang jelas kita memang harus menghadapi kenyataan
hidup nak. Tidak boleh menyesali.”
“Ya, mungkin penglihatan
bapak bisa dikembalikan lagi suatu saat,” tukasnya pelan. Omongan dengan nada
yang mungkin tak sesuai dengan usianya yang masih belia.
Aku pun melanjutkan memijat
tubuhnya, kuurut kakinya dengan hati-hati. Sampai akhirnya aku selesaikan
semuanya.
***
Menatap bulan seperti inilah
yang kudamba beberapa tahun terakhir . Kelinci itu sudah bisa kupandangi lagi,
walau sebenarnya masih kelihatan kabur. Tapi aku tetap senang, bahkan senang
sekali. Kesenangan yang dulu hilang kini kembali lagi tanpa diduga-duga.
Ah, aku kini tak sendiri
menatap bulan. Ada teman yang sekarang menemaniku.... Anak orang kaya yang dulu
pernah kupijat itu. Dialah yang membuatku bisa menatap bulan seperti dahulu.
Dialah yang mengembalikan kenangan masa kecilku. Berkat dialah aku bisa melihat
lagi. Dia yang meminta ayahnya untuk mau membiaya operasi pencangkokan mataku.
Dan ayahnya pun mengabulkan.
Komentar
Posting Komentar