Langsung ke konten utama

Riana


“Riana,” dia mengulurkan tangannya, sesaat setelah kami berjumpa.

“Rudi,” jawab lirihku, sampil kubalas uluran tangannya.

“Sudah lama, menunggu?,” dia menanyaiku.

“Belum, baru 5 menit, tempat yang indah ya, kau sering ke sini?” ucapku.

Dia tak langsung menjawab pertanyaanku, namun langsung duduk tepat di sebelahku.

“ Sudah beberapa kali, kamu juga suka datang ke sini?” tanyanya.

 “ Ini yang ketiga. Pertama kali ke sini, saat aku lulus ujian sarjana, bagiku itu momen yang istimewa. Yang kedua kalinya, saat aku diterima kerja dan menurutku itu lebih istimewa lagi. Dan ini yang ketiga, entah aku menyebutnya apa, mungkin lebih istimewa dari kunjungan pertama dan keduaku,” jawabku.

Dia tampak tersenyum mendengar ceritaku. Rona wajahnya memerah. Mungkin jawabanku terlalu gombal menurutnya.

Setelah jawaban itu, kami tetap terdiam. Ini pertama kali kami berjumpa. Saat pertama kali mendengar namanya aku langsung tertarik. Yah Riana, sebuah kata yang aku sendiri tak tahu maknanya. Aku belum pernah melihat wajahnya. Hanya beberapa kawan yang sering bercerita tentang dirinya. Aku selalu tertarik mendengar cerita tentang Riana. Seorang gadis yang cerdas. “Dia juga pintar main basket dan main gamelan,”cerita seorang kawan.” Dan aku beberapa kali membaca karyanya di Harian Kota. Iya, aku memang selalu mengikuti cerpen-cerpennya di Harian Kota. Setiap tulisan meninggalkan setitik pesan. Dan aku selalu mencatat pesan-pesan itu dalam buku kecilku. Setiap kali ingin bertemu dengannya aku baca pesan-pesan itu. Paling tidak, itu mengobati sedikit keinginanku. Walau hakekatnya aku memang belum pernah bersua. Tapi sore ini aku memang beruntung bisa bertemu dengannya. Kami memang sempat berkirim-kirim email sebelumnya. Kuceritakan keinginanku untuk bertemu. Hanya rasa penasaran saja. Tidak lebih. Ternyata dia menyanggupinya.

 “Kamu tinggal di mana?,”tanyaku

“Di sana jauh,” tangannya menunjuk ke suatu arah.

“Daerah mana namanya?,”aku kembali menegaskan pertanyaanku.

“Jika kusebut pun, kau takkan pernah tahu dan takkan bisa ke sana,” jawabnya

“Ah , kamu bisa saja,”Godaku. Namun wajahnya tampak datar. Aku pun kembali terdiam. Tak jua melanjutkan pertanyaan. Sementara angin sore menerpa kami sepoi-sepoi. Aku sedikit mencuri pandang melihat wajahnya. Cantik. Hidungnya mancung, kulitnya sawo matang. Sangat melayu. Ah mungkin dia memang orang dataran melayu sana.

 “Kau sedang sibuk apa akhir-akhir ini?” sebuah pertanyaan terlontar dari mulutnya. Aku tersentak.

“Ehm..ehm.. aku sibuk mengerjakan tugas kantor saja,” ucapku pelan.

“Oh,…” pendek saja.

“Kau sibuk apa akhir-akhir ni?

“ Hanya menulis saja. ”

“ Aku sering baca tulisanmu di Harian Kota, dan semuanya luar biasa, aku catat hal yang kupikir menarik di sana,” ucapku

“Terimakasih kalau kau berkata begitu,”tanggapnya

“ Menurutku kau adalah orang yang hebat. Walau aku belum pernah bersuamu sebelumnya,” pujiku.

“Sudut mana yang kau katakana hebat?”jawabanya.

“Semua sudut. Aku bisa baca dari tulisan-tulisanmu,” jawabku.

“ Ah kau terlalu berlebih,” dia pun membantah dengan senyum.

Kami akhirnya bercerita tentang banyak hal. Hingga tak terasa, senja pun datang. Tak enak juga berduaan di tempat ini di senja hari. Kami putuskan untuk pulang. Sebelum pulang,kuajukan satu permintaan untuknya.

“Mau kah besok kita berjumpa lagi di tempat ini?,” pintaku.

Dia terlihat agak bingung.

“Ehm,,,em besok ya, besok, “ tampak dia berpikir,” Boleh, sore seperti ini ya” jawabnya.

Setelah itu dia pun bergegas pergi. Kulihat dia menggunakan sepeda motor. Ingin rasa kuikuti dia, karena aku sendiri penasaran di mana tempat tinggalnya. Tapi rupanya aku terlambat. Dia sudah ditelan gelapnya senja. Aku bergegas kembali ke rumah.

 ***

Benar saja, dia datang ke tempat kemarin. Kali ini dia menggunakan kemeja hijau putih cerah dengan bawahan putih. Tampak lebih cantik dari saat pertama kali aku jumpa. Dia tiba lebih dulu.

“Kamu lebih dulu datang rupanya,maafkan saya?”aku meminta maaf.

“Ah tak apa, aku saja yang datang lebih cepat dari kemarin,” dia tak menyalahkanku.

“Ya..ya..terimakasih,”ucapku.

“Kau ingin ketemu aku untuk bicara apa,”tanyanya.

“Ah tidak hanya, ingin meneruskan perbincangan kemarin saja.”

“Oh begitu, tapi hari ini aku tidak bisa lama-lama,”jawabnya

“kenapa?”

“Karena aku akan pergi jauh sore ini”

“Pergi kemana?” aku penasaran.

“Aku ada urusan yang mungkin kau tak perlu ketahui,”tukasnya.

“Oh baiklah,” jawabku singkat.

Kami pun berbincang tentang segala hal. Dia mulai bercerita tentang keluarganya. Tentang kehidupannya.

Namun, tiba-tiba saja dia mengajukan sebuah pertanyaan kepadaku.

“Menurutmu apa perbedaan gagal dengan kalah?” tanyanya

“Menurutku…ehm” aku sejenak berpikir.

“apa?” dia kembali bertanya.

“Semua tergantung apa yang ingin kita capai. Jika yang ingin kita capai adalah kemenangan, maka kalah adalah kegagalan. Berarti menurutku kekalahan hanyalah bagian kecil dari kegagalan. Dan menurutmu?”aku ganti bertanya.

“Aku tak punya pendapat, makanya aku bertanya kepadamu,”ucapnya.

Aku pun mengangguk. Sesaat kemudian dia kembali mengajukan pertanyaan.

“Kau percaya takdir?”

“Ah, aku percaya, Tapi menurutku sesuatu di dunia ini ada yang masih bisa diperjuangkan. Diusahakan, tidak terima bongkokan,”jelasku.

“Menurutmu kehidupan ini sesuatu yang bisa diperjuangkan?”tanyanya.

“Oh tentu, hidup adalah jalan perjuangan. Banyak orang berani mati, tapi takut hidup,”jelasku kembali.

“Tapi apakah kematian adalah sesuatu yang juga bisa diperjuangkan?”tanyanya kembali.

Aku terdiam mendengar pertanyaan itu.

“Mengapa kau bertanya begitu ?”

“Ah tidak aku hanya ingin tahu pendapatmu saja,”katanya.

“Jika kau percaya Tuhan, kematian adalah hakNya. Tapi jika kau tak percaya Tuhan, mungkin kematian bisa jadi adalah hal yang diperjuangkan. Kau pernah mendengar pemikiran orang-orang materialis itu. Mereka berpikir bahwa hidup adalah milik pribadi orang yang hidup itu. Tidak ada entitas lain di atas mereka. Oleh karenanya, merekalah yang bertanggung jawab atas hidup mati mereka. Mungkin mati bagi mereka adalah sesuatu yang bisa diperjuangkan. Mereka yang menentukan. Karena mereka adalah milik mereka,” jawabku.

 

“Aku percaya Tuhan,” ucapnya pelan.

“Aku juga,” ucapku.

“Bagaimana dengan perjumpaan kita, apakah ini sudah ditentukan Tuhan? Atau suatu kebetulan?Atau apa?” Dia kembali mengajuiku pertanyaan aneh.

“Bisa jadi separo kehendak Tuhan, bisa jadi aku usahakan,”jawabku sekenanya

Dia tertawa kecil mendengar jawaban itu.

“Yah kamu yang mengusahakan, mungkin aku tidak,” jawabnya.

 Hari semakin beranjak senja. Angin malam pun mulai datang buru-buru. Sudut cahaya mentari pun mulai berlari ke barat. Kulihat dia masih menatap dataran kebon teh dengan tatapan kosong.

“Aku harus pergi sekarang,” tukasnya.

“ Sekarang?” tanyaku

“Iya sekarang, dan mungkin inilah perjumpaan kita yang terakhir,” ucapnya lirih, sambil menatap mataku.

“Hah, mengapa, bukankah kita baru memulainya kemarin,” protesku kepadanya.

“Maafkan, aku harus pergi.”

“Jika kau pergi bukankah kita bisa saling berhubungan lewat telepon,” usulku.

“Sebaiknya jangan,”dia kembali menatapku.

“Aku masih bingung?”

“Kau tak usah bingung, suatu saat kau akan mengerti,” jawabnya.

Aku tak bisa mencegahnya pergi. Dia pun mulai beranjak dari duduknya. Meninggalkanku.

“Selamat tinggal,” ucapnya dan motor yang dikendarainya mulai menjauhiku.

Aku hanya bisa menatapnya dari jauh, ribuan pertanyaan muncul di kepalaku.

 Dalam ketidakmengertian itu, aku putuskan pulang. Kupacu gasku melalui jalan berkelok. Lagi-lagi pikiranku melayang entah ke mana. Menelisik. Bertanya-tanya. Kenapa begitu anehnya Riana sore ini. Hingga di sebuah tikungan, aku tak melihat sebuah batu besar yang terlempar di tengah jalan. Aku menabraknya. Aku tak bisa mengendalikan motor dan terjatuh. Aku tak ingat apa-apa lagi.

***

Bau minyak angin menusuk hidungku. Semakin dalam.

“Rud, bangun, Rud bangun, kau tak apa-apa?”

Rasanya aku mengenal suara itu. Yah suara Susilo, rekan kerjaku di kantor. Rekan kerja yang pernah bercerita tentang Riana. Tapi Bukankah dia sedang pulang di Bandung saat aku berjumpa Riana.

“Rud, bangun Rud, dia sudah siuman,” ucapnya.

Mataku terbuka pelan-pelan. Kepalaku terasa sakit. Kulihat Susilo, Joko, Robi semua mengelilingiku. Baju mereka kotor oleh debu. Kepala Joko juga terluka, kulihat bekas darah di kepalanya.

“Kau taka apa-apa Rud?” Tanya Joko

Aku belum bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan mereka. Hingga akhirnya aku mulai bertanya:

“ Di mana ini?,”

“ Ini di halaman kantor, kau ingat tadi ada gempa hebat, dan kanotr kita runtuh sebagian”

“Hah gempa, tidak mungkin, seingatku aku tadi habis bertemu Riana dan aku terjatuh dari motor,”aku benar-benar bingung.

“ Tidak , kau mungkin bermimpi dalam pingsanmu, Kau tadi tak sadar karena tertimpa kayu penyangga lalu kami bawa kemari?.” Jawab Joko.

Aku mulai didudukan. Kepalaku masih sakit. Dan kulihat diriku memang benar-benar di halaman kantor. Kulihat gedung hancur sebagian. Beberapa orang berlarian, berteriak dan menangis. Ah, benar. Suara sirine meraung sekencang-kencangnya. Beberapa orang terkapar tak jauh dari kami berdiri.Ini gempa. Yah gempa, aku ingat…aku ingat.

 Lalu perjumpaan dengan Riana tadi..Ah..

***

Seminggu aku dirawat di Rumah Sakit bersama korban lain. Hanya luka masih terasa sakitnya.

Beberapa hari  dari rumah sakit, aku merasa baik. Aku ingin melihat kondisi kantor. Memang sudah rusak, ada bagian yang hancur lebur. Kususuri setiap sudutnya. Hingga aku bersua dengan Pak Jono, petugas kemanan kantpr.

“Pak, Sudah sehat?”tanyanya.

“Alhamdulillah sudah, bosan di rumah sakit, ini saya pengen muter lihat kondisi,”jawabku.

“Ya beginilah, Wah tapi ada yang meninggal Pak,”ucapnya.

“SIapa ?”

“ 3 orang,”tukasnya.

“Siapa, saja, jangan-jangan aku kenal semua,”desakku.

“Rujiyo kepala taman, Budi anak sekuriti, sama Ibu Riana, semuanya tertimbun pak”

Aku langsung lunglai mendengar jawabannya. Badan seakan melayang. Riana meninggal.

***

Mungkin dia berpamitan dalam ketidaksadaranku kemarin. Dan aku protes.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Muhammad A Kiong

Jika ditanya soal tempat yang paling nyaman selain kamarku, jawabnya adalah masjid kampus UGM. Walaupun aku sendiri bukan mahasiswa universitas itu. Terkadang bisa berjam-jam aku duduk di sana, membaca buku atau diskusi bersama kawan. Hawanya begitu menyejukkan. Tempatnya pun bersih dan indah. Hingga suatu hari aku bertemu dengan laki-laki aneh. Seseorang yang sangat mengagumkan sekaligus membingunganku. Saat itu, aku baru saja solat isya di sana. Usai berdoa, seperti biasa aku duduk di teras masjid. Menatap ke dalam lapangan luas berpohon palem. Untuk sekadar menghirup udara segar. Malam itu cukup cerah, bulan tak malu menampakkan diri. Padahal sore tadi, Jogja sempat diguyur hujan deras. “Assalamualaikum,” sapa laki-laki itu “Walaikum salam,” jawabku singkat. “Lagi menunggu siapa, mas?” “Wah, hanya cari udara segar di sini,” “Iya di sini memang menyejukkan, mas. Sudah lama saya jadi jamaah sini,” jawabnya. Kuperhatikan lebih dekat laki-laki itu. Ah...matanya sipit, seperti oran...

Bupati

"Sudah terima saja tawaran itu, Kang Parjo," ucap Kardimin dalam suatu perbincangan denganku. "Gundulmu, apa aku ini sanggup jadi bupati," jawabku ketus. "Loh, semua mendukungmu  lo kang. Bahkan Pak Badrun, pengusaha mebel di kota sana mau menggelontorkan dana besar untuk kemenanganmu kang," mulut Kardimin nrocos mirip politisi. "Aku tu cuma, mantan karang taruna dan bekerja sebagai relawan sosial saja. Siapa yang akan memilihku, min...min," jawabku ngeyel. "Kami siap mendukungmu kang. Partai mayoritas juga sudah sepakat untuk mengusungmu, jangan khawatir. Kamu itu terkenal lo kang. Terkenal ringan tangan membantu masyarakat. Tinggal kamu setuju  atau tidak," Kardimin menjelaskan. " Benar itu kang, sampeyan tinggal duduk manis. Ngga usah mikir soal kaos, poster, umbul-umbul. sudah ada yang mau bayari semua,"  Tukijo ikut-ikutan. "Pokoke tinggal beres, kang," Kardimin meyakinkan. "Ah nanti tak pikir-pikir dulu. I...

Cerita Kelinci di Bulan

Tiba-tiba saja, aku teringat masa kecil. Aku suka sekali melihat bulan saat keluar di malam hari. Apalagi bila purnama tiba, bisa lama memperhatikannya. Berdiri atau duduk sambil mengangkat kepala ke atas langit. Paling suka melihat di halaman depan yang luas . Saat itu, memang ada yang menarik perhatian. Bahkan merongrong rasa ingin tahuku. Kulihat di bulan, semburat sosok kelinci. Bagiku itu lucu. Bagaimana seekor kelinci bisa ada di langit sana. Setiap purnama, kuperhatikan betul kelinci itu. Tetap ada, tetap sama. Setelah beberapa kali melihat, aku pun beranikan bertanya kepada ayah, tentang kelinci itu. “Itu hewan peliharaan seorang putri yang terbang ke bulan, Nak,” jawab ayahku. “Kenapa putri itu ke bulan, yah?” “Suatu saat putri itu disuruh suaminya membeli minyak tanah. Dia pun berangkat dengan gembira. Dia memang sangat patuh dengan suaminya. Dengan berbekal uang pas, dia berangkat. Namun saat pulang dari membeli, dia kurang hati-hati dan menumpahkan minyak itu di t...