Langsung ke konten utama

Bertemu Sang Nabi

Sudah kudengar lama tentang kabar mengenai datangnya nabi itu dari para pedagang yang mampir di kotaku. Sebenarnya kisahnya sudah pernah kudengar dari para tetua dan para pemuka agama. Dia dikabarkan akan membawa ajaran yang mendamaikan dunia. Yang mengajarkan keadilan kepada sesama umat manusia. Ajarannya begitu menarik perhatianku. Di saat orang miskin sepertiku dihina dina oleh yang kaya, dia justru mengajarkan mengasihi orang miskin adalah perbuatan utama. Di saat keluargaku yang bukan apa-apa selalu dikalahkan oleh bangsawan, ajarannya justru mengajarkan kesetaraan. Keinginanku untuk bertemu dengannya sudah ada sejak lama. Aku ingin berbaiat kepadanya. Tetapi perjalanan ke kota dimana dia berada cukup jauh. Memakan waktu 1 bulan lebih. Sementara aku memiliki ibu, yang harus kusiapkan makanannya tiap hari.  Jika aku pergi ke sana, siapa yang akan merawat ibuku, padahal dia sudah begitu renta.

Setiap pagi, setelah menyuapi ibuku, aku selalu menunggu para pedagang yang datang ke kotaku. Kutanyakan tentang nabi itu. Ada yang menyambut pertanyaanku dengan gembira dan menyampaikan segala yang diajarkan oleh sang nabi. Ada yang justru memakiku dengan sumpah serapah. Mengatakan aku gila, karena mempercayainya sebagai nabi. Ada yang bahkan tidak tahu sama sekali. Aku selalu mencari tahu semua ajarannya, walau secuil pun. Kucatat yang bisa kucatat. Kubaca kembali setiap hari. Ada banyak pertanyaan yang justru timbul dari catatan-catatanku itu. Pertanyaanku itu tidak bisa aku logika dengan pikiranku. Kalau harus bertanya, aku tidak tahu akan bertanya kepada siapa untuk mendapatkan jawaban yang memuaskan. Tak terasa catatan-catatanku itu semakin hari semakin bertambah. Hingga suatu saat, pamanku mengunjungi rumah.  Paman berkata, jika dia ingin tinggal di kotaku karena urusan dagang untuk beberapa saat. Aku menawarkan agar dia tinggal  di rumahku saja.

Kepada pamanku ini, aku ungkapkan keinginanku untuk bisa pergi ke kota Sang Nabi. Karena paman melihat keinginanku yang sangat kuat, Akhirnya dia pun menyetujuinya. Tapi dengan syarat, aku harus kembali dalam waktu 3 bulan, tidak lebih. Aku mengiyakan. Aku juga meminta bantuan paman untuk mau menjaga ibuku selama aku dalam perjalalan. Setelah mendapatkan restu dari ibu, aku pun mempersiapkan segala sesuatu yang kubutuhkan selama perjalanan. Pamanku sendiri memberikan tambahan bekal. Perjalanan ini bukan main-main, karena jaraknya memang jauh dan penuh bahaya. Bahaya kehabisan bekal, bahaya perampokan atau cuaca yang tak menentu. Ini memang bukan  perjalanan jauh pertama kali yang aku tempuh. Dulu sekali aku pernah ikut paman berdagang selama 3 bulan. Tapi semenjak ibu semakin renta, aku tidak bisa pergi terlalu jauh dan lama.

Saat melakukan perjalanan ini, justru aku tidak mengalami  hambatan yang berarti. Mungkin karena perjalalan ini, ingin bertemu nabi. Setiap istirahat, aku baca kembali catatan-catatan yang dulu pernah kubuat. Aku ingat-ingat kembali pertanyaan-pertanyaan yang dulu aku kumpulkan. Aku memang berencana ingin  menanyakan semua pertanyaan kepada Sang Nabi, saat bertemu nanti. Dua hari lagi perkiraanku akan sampai ke kota itu. Karena aku sudah mulai melihat batu-batu hitam yang katanya menjadi  ciri jalan menuju  kota itu. Sehari kemudian, aku sudah melihat kebun gandum yang  rimbun. Berarti ini sudah sangat dekat dengan pemukiman penduduk. Tinggal sebentar lagi aku akan sampai  dan bertemu dengan nabi itu. Sebelum aku memasuki kota itu, aku sempat membersihkan diri dan minum di sebuah sumur. Di situ, aku sempat bertanya untuk memastikan bahwa  itulah kota yang dituju.

Di hari berikutnya,  akhirnya aku memasuki kota itu. Kudatangi pasar, karena kuyakin pasti banyak orang di sana. Aku mulai bertanya kepada   seorang pedagang kain di sana. Dia malah memakiku, menyebutku orang gila. Aku beralih ke pedagang buah yang berjualan di ujung pasar, dia menunjukkanku kepada seseorang yang ada di bawah pohon di depan pasar.

"Tanyalah kepada orang yang berada di bawah pohon besar itu di depan pasar,"ucapnya.

Aku pun mengucapkan terimakasih, lalu segera menuju depan pasar.
Di sana, memang kulihat seorang pria dengan jubah putih sedang duduk di atas batu. Perawakannya tidak terlalu besar. Kulihat wajahnya berseri dan menyejukkan. Jenggot putih menghiasi wajahnya. Kerut wajah menunjukkan bahwa dirinya sudah dimakan usia.

"Salam sejahtera untuk dirimu Tuan," begitu aku mengucapkan salam pertama kali.
"Salam sejahtera untukmu juga anak muda." jawaban ya sambil memandangku.
" Tuan apakah kau ini nabi yang turun dan diceritakan oleh para pedagang yang datang ke kotaku itu?" tanyaku kepadanya.
Dia terdiam dan menghela napas panjang. Kemudian dia bertanya kepadaku.
" Apakah kau ingin bertemu?" tanyanya
"Iya aku ingin berbaiat. Aku mulai menjalankan ajarannya, tapi masih banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan. Cepat katakan Apakah itu kau,"tanyaku.
"Ketahuilah nak, bahwa Sang Nabi telah wafat dua minggu yang lalu," jawabnya mengagetkanku.
"Kamu berbohong, bagaimana Nabi itu bisa wafat secepat itu,"tanyaku meradang.
"Ketahuilah Nak, Nabi itu juga manusia sepertimu yang bisa sakit dan wafat. Semua di dunia ini ada masanya," jawabnya singkat.
"Tapi aku  sebenarnya ingin sekali menjumpainya, bertemu dan berbaiat kepadanya serta menjalani ajarannya. Ya Tuhan, bagaimana  bisa seperti ini. Aku sudah menunggu perjalanan ini cukup lama. Bagaimana nasibku tidak bertemu dengan Sang Nabi," protesku.
"Jangan salahkan Tuhan,"ucap laki-laki itu.
"Tapi, aku benar-benar  kecewa,"ucapku.
"Dengar Nak, Dahulu banyak orang yang bertemu dengan Sang Nabi, tapi tak mengimaninya. Bahkan menghina, mencemooh, dan menyebutnya dukun bahkan orang gila. Bertemu dengan Sang Nabi bukanlah tanda keimananmu. Meski kau tak bertemu Sang Nabi, kau masih bisa bertemu dengan ajarannya. Jalani ajarannya dan jauhi larangannya, itu lebih  baik dari sekadar bertemu dengan Sang Nabi," ucapnya.
Aku hanya terdiam, merasa bahwa ucapan lelaki itu benar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Muhammad A Kiong

Jika ditanya soal tempat yang paling nyaman selain kamarku, jawabnya adalah masjid kampus UGM. Walaupun aku sendiri bukan mahasiswa universitas itu. Terkadang bisa berjam-jam aku duduk di sana, membaca buku atau diskusi bersama kawan. Hawanya begitu menyejukkan. Tempatnya pun bersih dan indah. Hingga suatu hari aku bertemu dengan laki-laki aneh. Seseorang yang sangat mengagumkan sekaligus membingunganku. Saat itu, aku baru saja solat isya di sana. Usai berdoa, seperti biasa aku duduk di teras masjid. Menatap ke dalam lapangan luas berpohon palem. Untuk sekadar menghirup udara segar. Malam itu cukup cerah, bulan tak malu menampakkan diri. Padahal sore tadi, Jogja sempat diguyur hujan deras. “Assalamualaikum,” sapa laki-laki itu “Walaikum salam,” jawabku singkat. “Lagi menunggu siapa, mas?” “Wah, hanya cari udara segar di sini,” “Iya di sini memang menyejukkan, mas. Sudah lama saya jadi jamaah sini,” jawabnya. Kuperhatikan lebih dekat laki-laki itu. Ah...matanya sipit, seperti oran...

Bupati

"Sudah terima saja tawaran itu, Kang Parjo," ucap Kardimin dalam suatu perbincangan denganku. "Gundulmu, apa aku ini sanggup jadi bupati," jawabku ketus. "Loh, semua mendukungmu  lo kang. Bahkan Pak Badrun, pengusaha mebel di kota sana mau menggelontorkan dana besar untuk kemenanganmu kang," mulut Kardimin nrocos mirip politisi. "Aku tu cuma, mantan karang taruna dan bekerja sebagai relawan sosial saja. Siapa yang akan memilihku, min...min," jawabku ngeyel. "Kami siap mendukungmu kang. Partai mayoritas juga sudah sepakat untuk mengusungmu, jangan khawatir. Kamu itu terkenal lo kang. Terkenal ringan tangan membantu masyarakat. Tinggal kamu setuju  atau tidak," Kardimin menjelaskan. " Benar itu kang, sampeyan tinggal duduk manis. Ngga usah mikir soal kaos, poster, umbul-umbul. sudah ada yang mau bayari semua,"  Tukijo ikut-ikutan. "Pokoke tinggal beres, kang," Kardimin meyakinkan. "Ah nanti tak pikir-pikir dulu. I...

Cerita Kelinci di Bulan

Tiba-tiba saja, aku teringat masa kecil. Aku suka sekali melihat bulan saat keluar di malam hari. Apalagi bila purnama tiba, bisa lama memperhatikannya. Berdiri atau duduk sambil mengangkat kepala ke atas langit. Paling suka melihat di halaman depan yang luas . Saat itu, memang ada yang menarik perhatian. Bahkan merongrong rasa ingin tahuku. Kulihat di bulan, semburat sosok kelinci. Bagiku itu lucu. Bagaimana seekor kelinci bisa ada di langit sana. Setiap purnama, kuperhatikan betul kelinci itu. Tetap ada, tetap sama. Setelah beberapa kali melihat, aku pun beranikan bertanya kepada ayah, tentang kelinci itu. “Itu hewan peliharaan seorang putri yang terbang ke bulan, Nak,” jawab ayahku. “Kenapa putri itu ke bulan, yah?” “Suatu saat putri itu disuruh suaminya membeli minyak tanah. Dia pun berangkat dengan gembira. Dia memang sangat patuh dengan suaminya. Dengan berbekal uang pas, dia berangkat. Namun saat pulang dari membeli, dia kurang hati-hati dan menumpahkan minyak itu di t...