Setiap pagi, setelah menyuapi ibuku, aku selalu menunggu para pedagang yang datang ke kotaku. Kutanyakan tentang nabi itu. Ada yang menyambut pertanyaanku dengan gembira dan menyampaikan segala yang diajarkan oleh sang nabi. Ada yang justru memakiku dengan sumpah serapah. Mengatakan aku gila, karena mempercayainya sebagai nabi. Ada yang bahkan tidak tahu sama sekali. Aku selalu mencari tahu semua ajarannya, walau secuil pun. Kucatat yang bisa kucatat. Kubaca kembali setiap hari. Ada banyak pertanyaan yang justru timbul dari catatan-catatanku itu. Pertanyaanku itu tidak bisa aku logika dengan pikiranku. Kalau harus bertanya, aku tidak tahu akan bertanya kepada siapa untuk mendapatkan jawaban yang memuaskan. Tak terasa catatan-catatanku itu semakin hari semakin bertambah. Hingga suatu saat, pamanku mengunjungi rumah. Paman berkata, jika dia ingin tinggal di kotaku karena urusan dagang untuk beberapa saat. Aku menawarkan agar dia tinggal di rumahku saja.
Kepada pamanku ini, aku ungkapkan keinginanku untuk bisa pergi ke kota Sang Nabi. Karena paman melihat keinginanku yang sangat kuat, Akhirnya dia pun menyetujuinya. Tapi dengan syarat, aku harus kembali dalam waktu 3 bulan, tidak lebih. Aku mengiyakan. Aku juga meminta bantuan paman untuk mau menjaga ibuku selama aku dalam perjalalan. Setelah mendapatkan restu dari ibu, aku pun mempersiapkan segala sesuatu yang kubutuhkan selama perjalanan. Pamanku sendiri memberikan tambahan bekal. Perjalanan ini bukan main-main, karena jaraknya memang jauh dan penuh bahaya. Bahaya kehabisan bekal, bahaya perampokan atau cuaca yang tak menentu. Ini memang bukan perjalanan jauh pertama kali yang aku tempuh. Dulu sekali aku pernah ikut paman berdagang selama 3 bulan. Tapi semenjak ibu semakin renta, aku tidak bisa pergi terlalu jauh dan lama.
Saat melakukan perjalanan ini, justru aku tidak mengalami hambatan yang berarti. Mungkin karena perjalalan ini, ingin bertemu nabi. Setiap istirahat, aku baca kembali catatan-catatan yang dulu pernah kubuat. Aku ingat-ingat kembali pertanyaan-pertanyaan yang dulu aku kumpulkan. Aku memang berencana ingin menanyakan semua pertanyaan kepada Sang Nabi, saat bertemu nanti. Dua hari lagi perkiraanku akan sampai ke kota itu. Karena aku sudah mulai melihat batu-batu hitam yang katanya menjadi ciri jalan menuju kota itu. Sehari kemudian, aku sudah melihat kebun gandum yang rimbun. Berarti ini sudah sangat dekat dengan pemukiman penduduk. Tinggal sebentar lagi aku akan sampai dan bertemu dengan nabi itu. Sebelum aku memasuki kota itu, aku sempat membersihkan diri dan minum di sebuah sumur. Di situ, aku sempat bertanya untuk memastikan bahwa itulah kota yang dituju.
Di hari berikutnya, akhirnya aku memasuki kota itu. Kudatangi pasar, karena kuyakin pasti banyak orang di sana. Aku mulai bertanya kepada seorang pedagang kain di sana. Dia malah memakiku, menyebutku orang gila. Aku beralih ke pedagang buah yang berjualan di ujung pasar, dia menunjukkanku kepada seseorang yang ada di bawah pohon di depan pasar.
"Tanyalah kepada orang yang berada di bawah pohon besar itu di depan pasar,"ucapnya.
Aku pun mengucapkan terimakasih, lalu segera menuju depan pasar.
Di sana, memang kulihat seorang pria dengan jubah putih sedang duduk di atas batu. Perawakannya tidak terlalu besar. Kulihat wajahnya berseri dan menyejukkan. Jenggot putih menghiasi wajahnya. Kerut wajah menunjukkan bahwa dirinya sudah dimakan usia.
"Salam sejahtera untuk dirimu Tuan," begitu aku mengucapkan salam pertama kali.
"Salam sejahtera untukmu juga anak muda." jawaban ya sambil memandangku.
" Tuan apakah kau ini nabi yang turun dan diceritakan oleh para pedagang yang datang ke kotaku itu?" tanyaku kepadanya.
Dia terdiam dan menghela napas panjang. Kemudian dia bertanya kepadaku.
" Apakah kau ingin bertemu?" tanyanya
"Iya aku ingin berbaiat. Aku mulai menjalankan ajarannya, tapi masih banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan. Cepat katakan Apakah itu kau,"tanyaku.
"Ketahuilah nak, bahwa Sang Nabi telah wafat dua minggu yang lalu," jawabnya mengagetkanku.
"Kamu berbohong, bagaimana Nabi itu bisa wafat secepat itu,"tanyaku meradang.
"Ketahuilah Nak, Nabi itu juga manusia sepertimu yang bisa sakit dan wafat. Semua di dunia ini ada masanya," jawabnya singkat.
"Tapi aku sebenarnya ingin sekali menjumpainya, bertemu dan berbaiat kepadanya serta menjalani ajarannya. Ya Tuhan, bagaimana bisa seperti ini. Aku sudah menunggu perjalanan ini cukup lama. Bagaimana nasibku tidak bertemu dengan Sang Nabi," protesku.
"Jangan salahkan Tuhan,"ucap laki-laki itu.
"Tapi, aku benar-benar kecewa,"ucapku.
"Dengar Nak, Dahulu banyak orang yang bertemu dengan Sang Nabi, tapi tak mengimaninya. Bahkan menghina, mencemooh, dan menyebutnya dukun bahkan orang gila. Bertemu dengan Sang Nabi bukanlah tanda keimananmu. Meski kau tak bertemu Sang Nabi, kau masih bisa bertemu dengan ajarannya. Jalani ajarannya dan jauhi larangannya, itu lebih baik dari sekadar bertemu dengan Sang Nabi," ucapnya.
Aku hanya terdiam, merasa bahwa ucapan lelaki itu benar.
Komentar
Posting Komentar