Langsung ke konten utama

Mencari Catatanku

 

Tiba-tiba terdengar suara gemuruh yang begitu keras. Suara itu tak pernah kudengar sebelumnya. Sama sekali belum pernah. Aku hanya diam saja. Tugasku memang hanya diam, mengamati dan menuliskan apa yang kulihat, apa yang kudengar dan apa yang kurasakan. Aku sudah menjalani pekerjaan ini sejak 15 tahun yang lalu. Kuterima pekerjaan ini, karena kupikir mudah. Aku tak butuh banyak tenaga, hanya mengamati dan mencatat. Itu saja. Tapi baru kusadari bahwa pekerjaan ini, walau mudah tapisering melibatkan gejolak-gejolak hati. Ah, entahlah. Suara gemuruh, yang kudengar tadi semakin menjadi-jadi. Semakin keras dan memekakkan telingaku. Dan yang kuheran tiba-tiba berhenti begitu saja. Yang kulihat di pandanganku, cahaya semakin redup. Aku sebenarnya tak terlalu peduli. Aku dulu dibentuk secara keras dan selalu siap menghadapi kondisi apa pun. Siang atau malam. Hujan atau panas.

 Aku bergeming. Aku tetap menjalankan tugas ini sepenuh hati. Yang kuingat sudah 3 malam aku di tempat yang belum pernah kulihat sebelumnya ini. Mungkin ini terlalu sepi. Dingin dan redup. Selama 3 malam itu, sebenarnya aku sedang beristirahat. Tak ada lagi yang perlu kucatat. Sebenarnya, tidak semua orang bisa membaca catatanku ini. Yah, tidak semua orang.Catatanku ini terlalu penting untuk bisa dibaca oleh semua orang. Aku sendiri sering merasa takut, kalau catatanku ini salah ditafsirkan. Tapi aku tidak bisa menyalahkan orang yang salah menafsirkannya, karena sekali lagi tugasku hanyalah mencatat. Sebenarnya apa yang kulakukan di sini adalah menunggu catatanku bisa diambil dan diserahkan kepada orang yang bisa membacanya. Aku sendiri juga tidak memungkinkan untuk mengantar catatanku ini secara langsung. Biarkan orang lain yang bertugas mengambil dan mengantarkannya. Mungkin kali ini, orang yang mengambilnya belum terlalu kenal denganku sehingga terasa begitu lama. Terlalu sulit menemukan lokasiku. Yang penting aku bersabar, tinta yang aku gunakan memang bisa pudar jika terlalu lama tidak dibaca. Tapi itu lama.

“Itu di sana, yang ada di balik batu itu,” aku mendengar sayup sayup seorang pria berbicara kepada kawannya.

Kawannya yang mendengarnya seperti menganggukkan kepala tanda setuju. Mereka berdua rupanya menuju ke arahku. Kedua pria itu, perawakannya besar, tapi dari cara bergeraknya seperti orang kelelahan. Mungkin mereka yang ditugaskan untuk mengambil catatan, pikirku. Setelah mereka di hadapanku, ada raut kegembiraan di wajahnya. Seperti menemukan harta karun yang hilang jutaan tahun lamanya. Mereka masih saling bertanya, memastikan bahwa akulah yang benar-benar harus ditemui. Mungkin setelah catatanku ini diambil, aku bisa liburan sejenak atau bahkan menikmati masa pensiun dini. 

“ Dengan kotak hitam ini, penyebab kecelakaan bisa diungkap,” ucap pria tadi kepada temannya sebelum mengambil catatanku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Muhammad A Kiong

Jika ditanya soal tempat yang paling nyaman selain kamarku, jawabnya adalah masjid kampus UGM. Walaupun aku sendiri bukan mahasiswa universitas itu. Terkadang bisa berjam-jam aku duduk di sana, membaca buku atau diskusi bersama kawan. Hawanya begitu menyejukkan. Tempatnya pun bersih dan indah. Hingga suatu hari aku bertemu dengan laki-laki aneh. Seseorang yang sangat mengagumkan sekaligus membingunganku. Saat itu, aku baru saja solat isya di sana. Usai berdoa, seperti biasa aku duduk di teras masjid. Menatap ke dalam lapangan luas berpohon palem. Untuk sekadar menghirup udara segar. Malam itu cukup cerah, bulan tak malu menampakkan diri. Padahal sore tadi, Jogja sempat diguyur hujan deras. “Assalamualaikum,” sapa laki-laki itu “Walaikum salam,” jawabku singkat. “Lagi menunggu siapa, mas?” “Wah, hanya cari udara segar di sini,” “Iya di sini memang menyejukkan, mas. Sudah lama saya jadi jamaah sini,” jawabnya. Kuperhatikan lebih dekat laki-laki itu. Ah...matanya sipit, seperti oran...

Bupati

"Sudah terima saja tawaran itu, Kang Parjo," ucap Kardimin dalam suatu perbincangan denganku. "Gundulmu, apa aku ini sanggup jadi bupati," jawabku ketus. "Loh, semua mendukungmu  lo kang. Bahkan Pak Badrun, pengusaha mebel di kota sana mau menggelontorkan dana besar untuk kemenanganmu kang," mulut Kardimin nrocos mirip politisi. "Aku tu cuma, mantan karang taruna dan bekerja sebagai relawan sosial saja. Siapa yang akan memilihku, min...min," jawabku ngeyel. "Kami siap mendukungmu kang. Partai mayoritas juga sudah sepakat untuk mengusungmu, jangan khawatir. Kamu itu terkenal lo kang. Terkenal ringan tangan membantu masyarakat. Tinggal kamu setuju  atau tidak," Kardimin menjelaskan. " Benar itu kang, sampeyan tinggal duduk manis. Ngga usah mikir soal kaos, poster, umbul-umbul. sudah ada yang mau bayari semua,"  Tukijo ikut-ikutan. "Pokoke tinggal beres, kang," Kardimin meyakinkan. "Ah nanti tak pikir-pikir dulu. I...

Cerita Kelinci di Bulan

Tiba-tiba saja, aku teringat masa kecil. Aku suka sekali melihat bulan saat keluar di malam hari. Apalagi bila purnama tiba, bisa lama memperhatikannya. Berdiri atau duduk sambil mengangkat kepala ke atas langit. Paling suka melihat di halaman depan yang luas . Saat itu, memang ada yang menarik perhatian. Bahkan merongrong rasa ingin tahuku. Kulihat di bulan, semburat sosok kelinci. Bagiku itu lucu. Bagaimana seekor kelinci bisa ada di langit sana. Setiap purnama, kuperhatikan betul kelinci itu. Tetap ada, tetap sama. Setelah beberapa kali melihat, aku pun beranikan bertanya kepada ayah, tentang kelinci itu. “Itu hewan peliharaan seorang putri yang terbang ke bulan, Nak,” jawab ayahku. “Kenapa putri itu ke bulan, yah?” “Suatu saat putri itu disuruh suaminya membeli minyak tanah. Dia pun berangkat dengan gembira. Dia memang sangat patuh dengan suaminya. Dengan berbekal uang pas, dia berangkat. Namun saat pulang dari membeli, dia kurang hati-hati dan menumpahkan minyak itu di t...