Langsung ke konten utama

Karena Terakhir...

“Sudah gila ya kamu Jo, itu beasiswa Harvard adalah beasiswa yang  paling dicari  anak-anak. Apalagi kamu dapat pembiayaan kuliah dan akomodasi, Kenapa sih ditolak?” Tanya Budi kepada kawannya Johan. Dia sangat kesal sekali melihat kawannya ini menyia-nyiakan beasiswa bergengsi. Beasiswa yang sangat diidam-idamkan oleh  mahasiswa seluruh  kampus.

“Ah, aku tidak tertarik Bud, aku juga kemarin tidak niat-niat banget  mengirimkan aplikasi,”Jawab Johan

“Dasar aneh anak ini, aku ga mengerti jalan pikiranmu. Bulan lalu kamu menolak pertukaran mahasiswa ke Cambridge, orang-orang pada nangis melihat perilakumu, Jo,” sanggah Budi

“Ah masa sebegitunya?” Ucap Johan singkat

“ Orang setengah mati pengen kuliah ke luar negeri, kamu seolah-olah ga butuh,” kata Budi kesal.

“ Nanti kalau cocok aku berangkat juga Bud, santai saja,” jawab Johan.


Johan memang dikenal anak yang cerdas,  indeks prestasinya tak pernah turun dari angka 4. Tak hanya itu, dia sangat aktif di berbagai kegiatan organisasi.  Johan  juga dikenal  sangat ramah kepada semua orang. Banyak  perusahaan-perusahaan besar yang menunggu kelulusannya untuk diajak bekerja. Dalam dan luar negeri.  Tapi hampir semua tawaran itu tidak dihiraukannya. Kawan-kawan Johan  juga tak pernah tahu  apa alasan yang melatarbelakanginya. Dia selalu ditanya tentang cita-citanya, tapi tak pernah terjawab dengan tuntas.  Ngalor Ngidul ke sana kemari tapi tak pernah menjawab penasaran kawan-kawannya selama ini.  

 “Ga tahu aku sama pemikiran  Johan, Ren,”ucap Budi kepada Reni kawannya.

“Aku juga ga pernah paham kenapa semua tawaran-tawaran itu ditolak. Kemarin  aku baru tahu bahwa dia menolak tawaran kerja di Dubai denan gaji 70 juta sebulan,” tanggap Reni.

“ Apa? 70 juta?” Budi memastikan.

“ Iya 70 Juta plus  apartemen dan kendaraan,” lanjut Reni.

“Emang  gila, beasiswa ditolak, tawaran kerja ditolak, apa maunya sih, orang di Indonesia ini sedang pada susah nyari pekerjaan. Banyak  yang menganggur, andai aku bisa tukar hidup sama dia,” lenguh Budi.

“ Sebenarnya bukan urusan kita sih Bud. Tapi terus terang aku juga penasaran sekali , apa yang menyebabkan Budi seperti itu,” jawab Reni.

“ Kamu punya rencana Ren untuk menjawab rasa penasaranmu?” Tanya Budi.

“ Oh gini saja, sebulan lagi Johan ulang tahun, kita buat perayaan kecil-kecilan . Lalu kita undang dia, di situlah kita todong bersama teman-teman lain, apa sebenarnya alasan dia menolak semua tawaran,” jelas Reni.

“ Wah ide bagus, kalau diundang ke pesta dia tidak akan nolak, tapi apa dia mau jawab pertanyaan kita?” tanya Budi.

“ Kita coba saja,” jawab Reni.


 Sebulan kemudian, setelah kegiatan sore di kampus,  Budi mengajak Johan ke sebuah café yang cukup dekat dengan kampusnya. Sesampai di sana sudah berkumpul teman-teman Johan  dan Budi. Mereka menyambut kehadiran mereka dengan sorak gembira.  Wajah Johan memerah, karena merasa malu dan terharu, karena ulang tahunnya dirayakan oleh kawan-kawannya. Bisa jadi  tahun ini adalah tahun terakhir di kampus, pikirnya, sehingga kawan-kawannya dengan sengaja merayakan ulang tahunnya. Acara berjalan meriah sekali dan sangat berkesan bagi Johan. Di akhir acara, Budi maju ke depan ruangan.

 “ Jo,  ada satu permintaan kami kepadamu, sebelum kita semua lulus semua dari kampus ini, kami ingin menjawab satu pertanyaan penting yang harus kamu jawab dengan jujur,”ucap Budi.

Johan hanya mengangguk, tersenyum dan penuh penasaran.

“ Jo, kami ingin kamu menjawab : Kenapa kamu menolak semua tawaran beasiswa kuliah ke luar negeri dan pekerjaan pekerjaan  yang menakjukban itu?” Budi.

 Johan tak langsung menjawab. Dia  menengok dan memandang kawan-kawannya. Bibirnya masih bungkam.

“ Apakah kalian benar-benar ingin tahu?” tanya Johan

“Pengen,” semua orang serempak menjawab

“ Baiklah, aku akan menjawabnya. Begini, aku ini adalah anak terakhir dari 3 bersaudara.  Kakakku yang pertama adalah  seorang pengacara sukses dan bekerja di Jakarta. Dia pulang 2 bulan sekali kadang tak pasti. Sedangkan  kakakku yang kedua, bekerja di perminyakan lepas pantai  Kalimantan. Bahkan dia jarang sekali pulang ke rumah. Di rumah aku hanya tinggal bersama ibuku, yang sudah lanjut usia. Tawaran-tawaran  yang  Budi sebutkan tadi,  sebenarnya tak lebih berharga bagiku  daripada merawat Ibuku yang telah renta. Aku memang anak terakhir tapi rasa sayangku kepada ibu takkan pernah berakhir,”jawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Muhammad A Kiong

Jika ditanya soal tempat yang paling nyaman selain kamarku, jawabnya adalah masjid kampus UGM. Walaupun aku sendiri bukan mahasiswa universitas itu. Terkadang bisa berjam-jam aku duduk di sana, membaca buku atau diskusi bersama kawan. Hawanya begitu menyejukkan. Tempatnya pun bersih dan indah. Hingga suatu hari aku bertemu dengan laki-laki aneh. Seseorang yang sangat mengagumkan sekaligus membingunganku. Saat itu, aku baru saja solat isya di sana. Usai berdoa, seperti biasa aku duduk di teras masjid. Menatap ke dalam lapangan luas berpohon palem. Untuk sekadar menghirup udara segar. Malam itu cukup cerah, bulan tak malu menampakkan diri. Padahal sore tadi, Jogja sempat diguyur hujan deras. “Assalamualaikum,” sapa laki-laki itu “Walaikum salam,” jawabku singkat. “Lagi menunggu siapa, mas?” “Wah, hanya cari udara segar di sini,” “Iya di sini memang menyejukkan, mas. Sudah lama saya jadi jamaah sini,” jawabnya. Kuperhatikan lebih dekat laki-laki itu. Ah...matanya sipit, seperti oran...

Bupati

"Sudah terima saja tawaran itu, Kang Parjo," ucap Kardimin dalam suatu perbincangan denganku. "Gundulmu, apa aku ini sanggup jadi bupati," jawabku ketus. "Loh, semua mendukungmu  lo kang. Bahkan Pak Badrun, pengusaha mebel di kota sana mau menggelontorkan dana besar untuk kemenanganmu kang," mulut Kardimin nrocos mirip politisi. "Aku tu cuma, mantan karang taruna dan bekerja sebagai relawan sosial saja. Siapa yang akan memilihku, min...min," jawabku ngeyel. "Kami siap mendukungmu kang. Partai mayoritas juga sudah sepakat untuk mengusungmu, jangan khawatir. Kamu itu terkenal lo kang. Terkenal ringan tangan membantu masyarakat. Tinggal kamu setuju  atau tidak," Kardimin menjelaskan. " Benar itu kang, sampeyan tinggal duduk manis. Ngga usah mikir soal kaos, poster, umbul-umbul. sudah ada yang mau bayari semua,"  Tukijo ikut-ikutan. "Pokoke tinggal beres, kang," Kardimin meyakinkan. "Ah nanti tak pikir-pikir dulu. I...

Cerita Kelinci di Bulan

Tiba-tiba saja, aku teringat masa kecil. Aku suka sekali melihat bulan saat keluar di malam hari. Apalagi bila purnama tiba, bisa lama memperhatikannya. Berdiri atau duduk sambil mengangkat kepala ke atas langit. Paling suka melihat di halaman depan yang luas . Saat itu, memang ada yang menarik perhatian. Bahkan merongrong rasa ingin tahuku. Kulihat di bulan, semburat sosok kelinci. Bagiku itu lucu. Bagaimana seekor kelinci bisa ada di langit sana. Setiap purnama, kuperhatikan betul kelinci itu. Tetap ada, tetap sama. Setelah beberapa kali melihat, aku pun beranikan bertanya kepada ayah, tentang kelinci itu. “Itu hewan peliharaan seorang putri yang terbang ke bulan, Nak,” jawab ayahku. “Kenapa putri itu ke bulan, yah?” “Suatu saat putri itu disuruh suaminya membeli minyak tanah. Dia pun berangkat dengan gembira. Dia memang sangat patuh dengan suaminya. Dengan berbekal uang pas, dia berangkat. Namun saat pulang dari membeli, dia kurang hati-hati dan menumpahkan minyak itu di t...