Langsung ke konten utama

Mimpi Penjual Bunga

Setelah kubuka toko, aku ingat pesanan Pak Surya. Katanya dia ingin menyiapkan bunga yang istimewa buat istrinya di ulang tahun pernikahan. Dia minta yang lengkap bunganya. Dia juga  minta kalau bisa ada bunga yang wangi. Karena katanya sang istri memang suka yang wangi. Rangkaian bunga itu akan diambilnya selepas tengah hari nanti. Biar kusiapkan saja bunga yang istimewa. Pak Surya adalah langgananku selama 3 tahun ini. Hampir setiap ulang tahun istrinya dan ulang tahun pernikahannya memesan bunga di tokoku. Pernah malam-malam sekali, dia mengirim pesan karena hampir kelupaan bahwa esok hari ulang tahun istrinya. Yah, kusiapkan saja, pelanggan bagiku adalah segalanya.

Sudah hampir 35 tahun aku membuka toko bunga ini. Hanya toko kecil di sebelah jalan besar. Sebenarnya aku hanya meneruskan usaha ayahku dulu. Walau sudah selama itu, usahaku  hanya biasa-biasa saja. Aku hanya memiliki 4 pegawai. Tiga perangkai bunga dan 1 sopir mobil yang biasa mengantarkan kalau ada pesanan rangkaian bunga. Terkadang aku juga mengantarkan sendiri bunga bunga itu, jika pegawaiku tak ada. Motor butut menjadi temanku yang setia.

Aku selalu menafsirkan makna bunga, setiap orang membelinya. Ada yang menafsirkan bunga sebagai ungkapan rasa bahagia. Kerabat  sedang membuka usaha dikirimkannya bunga. Pacarnya ulang tahun dikirimkan bunga. Kakaknya wisuda dikirimkan bunga. Ulang tahun pernikahan dikirimkan bunga. Semua momen bahagia bunga selalu ada.  Tapi banyak juga yang menafsirkan bunga adalah simbol rasa belasungkawa. Sudah ratusan kali aku menerima pesanan bunga ucapan duka cita. Bisa jadi sumber rejekiku memang berasal dari rasa suka dan duka.  Orang lain bahagia aku ikut bahagia karena mendapatkan  pesanan. Orang lain sedang berduka, kami pun bahagia karena dapat pesanan juga.  Aku juga bingung, apa  harus merasa bersalah atau tidak.

Kedua anakku sendiri rupanya tak ingin meneruskan usaha ini. Setelah selesai kuliah mereka memilih untuk menjadi pegawai negeri. Kata mereka gajinya lebih pasti. Tapi menurutku jual bunga juga pasti. Karena bunga akan mengiringi duka dan bahagia manusia di dunia ini. Tapi ya sudahlah, itu pilihan mereka. Biarlah nanti jika aku sudah mati, salah satu pegawaiku saja yang meneruskan usaha ini. Yah buat dia saja, bahkan dia mengabdi lebih tua dari usia anakku saat ini.  Namanya Mulyadi. Sosok biasa yang rajin bekerja. Pernah aku bercakap-cakap denganya dalam suatu kesempatan yang bersahaja.

"Mul, kalau aku nanti mati, kamu mau kan meneruskan usaha ini?" tanyaku.
"Wah Bapak, saya tidak berhak Pak dan saya tidak berani," jawabnya.
" Loh kenapa tak berani, bukannya kamu berpengalaman puluhan tahun di usaha ini ,"sanggahku.
"Masih ada anak bapak, saya lancang nanti,"jawab Mulyadi.
"Ah mereka sebenarnya sudah nyaman dengan pekerjaannya saat ini,Mul. Dan sempat aku tanya, Apakah mereka mau meneruskan toko bunga ini, mereka menjawab tidak mau Mul,"jawabku
"Oh begitu pak, saya nanti pikir-pikir dulu, Pak. Saya sebenarnya sudah bahagia hidup seperti ini. Sebagai pegawai Bapak," jawabanya
"Mul, kalau aku mati tidak ada lagi yang mempekerjakanmu, terus nasib 3 temanmu juga akan ikut selesai karena toko ini berhenti. Jadi sebaiknya kamu pikirkan baik-baik tawaran ini," ucapku.

Dia hanya terdiam. Menurutku memang dia tidak memiliki ambisi untuk memiliki toko ini.  Sesaat kemudian dia berkata.
"Kalau memang anak-anak Bapak tidak mau. Mulyadi mau mengurus toko ini Pak. Tapi Mungkin sebagian hasilnya akan saya kirimkan ke keluarga Bapak,"jawabnya lugu.
"Ga usah seperti itu Mul," jawabku sambil tertawa.
Sesaat kemudian dia bertanya kembali.
"Bapak kan sudah menjalani usaha ini lebih dari 30 tahun, apa sebenarnya mimpi Bapak?"
"Mimpiku Mul?, mimpi yang serius apa yang ga serius Mul?"tanyaku bercanda.
"Ya yang serius, Pak,"jawabnya
"Ada 2 Mul, yang pertama kamu bisa meneruskan usaha ini. Yang mimpi kedua, agak aneh ya Mul, aku kan sudah berjualan bunga selama 30 tahun lebih, pelanggannya sangat banyak, mengirim ke hampir seluruh sudut kota ini, tapi aku sendiri belum pernah dikirimi bunga oleh siapa pun Mul,"jawabku terkekeh kekeh.
"Jadi Bapak pengen dikirimi bunga hahahahaha," Mulyadi ikut tertawa.
"Iya Mul, semoga bisa tercapai. Hahaha guyon Mul,"ucapku.

***
Di hari itu, kulihat karangan bunga dengan namaku tertera di  sana. Yang aneh pengirimnya adalah Mulyadi dan keluarganya. Wah, Mulyadi ini memang pegawai luar biasa. Dia mewujudkan mimpiku yang kedua, ingin dikirimi bunga. Tak hanya itu, dia juga benar-benar mewujudkan mimpiku yang pertama. Meneruskan usaha toko bunga itu. Dia mengembangkannya dengan luar biasa. Cabangnya sudah 3 toko, begitu dia bercerita kepadaku tiap minggu. Oh Iya, dia juga membawakan rangkaian bunga kepadaku tiap minggu. Iya tiap minggu sambil dia mendoakanku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Muhammad A Kiong

Jika ditanya soal tempat yang paling nyaman selain kamarku, jawabnya adalah masjid kampus UGM. Walaupun aku sendiri bukan mahasiswa universitas itu. Terkadang bisa berjam-jam aku duduk di sana, membaca buku atau diskusi bersama kawan. Hawanya begitu menyejukkan. Tempatnya pun bersih dan indah. Hingga suatu hari aku bertemu dengan laki-laki aneh. Seseorang yang sangat mengagumkan sekaligus membingunganku. Saat itu, aku baru saja solat isya di sana. Usai berdoa, seperti biasa aku duduk di teras masjid. Menatap ke dalam lapangan luas berpohon palem. Untuk sekadar menghirup udara segar. Malam itu cukup cerah, bulan tak malu menampakkan diri. Padahal sore tadi, Jogja sempat diguyur hujan deras. “Assalamualaikum,” sapa laki-laki itu “Walaikum salam,” jawabku singkat. “Lagi menunggu siapa, mas?” “Wah, hanya cari udara segar di sini,” “Iya di sini memang menyejukkan, mas. Sudah lama saya jadi jamaah sini,” jawabnya. Kuperhatikan lebih dekat laki-laki itu. Ah...matanya sipit, seperti oran...

Bupati

"Sudah terima saja tawaran itu, Kang Parjo," ucap Kardimin dalam suatu perbincangan denganku. "Gundulmu, apa aku ini sanggup jadi bupati," jawabku ketus. "Loh, semua mendukungmu  lo kang. Bahkan Pak Badrun, pengusaha mebel di kota sana mau menggelontorkan dana besar untuk kemenanganmu kang," mulut Kardimin nrocos mirip politisi. "Aku tu cuma, mantan karang taruna dan bekerja sebagai relawan sosial saja. Siapa yang akan memilihku, min...min," jawabku ngeyel. "Kami siap mendukungmu kang. Partai mayoritas juga sudah sepakat untuk mengusungmu, jangan khawatir. Kamu itu terkenal lo kang. Terkenal ringan tangan membantu masyarakat. Tinggal kamu setuju  atau tidak," Kardimin menjelaskan. " Benar itu kang, sampeyan tinggal duduk manis. Ngga usah mikir soal kaos, poster, umbul-umbul. sudah ada yang mau bayari semua,"  Tukijo ikut-ikutan. "Pokoke tinggal beres, kang," Kardimin meyakinkan. "Ah nanti tak pikir-pikir dulu. I...

Cerita Kelinci di Bulan

Tiba-tiba saja, aku teringat masa kecil. Aku suka sekali melihat bulan saat keluar di malam hari. Apalagi bila purnama tiba, bisa lama memperhatikannya. Berdiri atau duduk sambil mengangkat kepala ke atas langit. Paling suka melihat di halaman depan yang luas . Saat itu, memang ada yang menarik perhatian. Bahkan merongrong rasa ingin tahuku. Kulihat di bulan, semburat sosok kelinci. Bagiku itu lucu. Bagaimana seekor kelinci bisa ada di langit sana. Setiap purnama, kuperhatikan betul kelinci itu. Tetap ada, tetap sama. Setelah beberapa kali melihat, aku pun beranikan bertanya kepada ayah, tentang kelinci itu. “Itu hewan peliharaan seorang putri yang terbang ke bulan, Nak,” jawab ayahku. “Kenapa putri itu ke bulan, yah?” “Suatu saat putri itu disuruh suaminya membeli minyak tanah. Dia pun berangkat dengan gembira. Dia memang sangat patuh dengan suaminya. Dengan berbekal uang pas, dia berangkat. Namun saat pulang dari membeli, dia kurang hati-hati dan menumpahkan minyak itu di t...