Sudah hampir 35 tahun aku membuka toko bunga ini. Hanya toko kecil di sebelah jalan besar. Sebenarnya aku hanya meneruskan usaha ayahku dulu. Walau sudah selama itu, usahaku hanya biasa-biasa saja. Aku hanya memiliki 4 pegawai. Tiga perangkai bunga dan 1 sopir mobil yang biasa mengantarkan kalau ada pesanan rangkaian bunga. Terkadang aku juga mengantarkan sendiri bunga bunga itu, jika pegawaiku tak ada. Motor butut menjadi temanku yang setia.
Aku selalu menafsirkan makna bunga, setiap orang membelinya. Ada yang menafsirkan bunga sebagai ungkapan rasa bahagia. Kerabat sedang membuka usaha dikirimkannya bunga. Pacarnya ulang tahun dikirimkan bunga. Kakaknya wisuda dikirimkan bunga. Ulang tahun pernikahan dikirimkan bunga. Semua momen bahagia bunga selalu ada. Tapi banyak juga yang menafsirkan bunga adalah simbol rasa belasungkawa. Sudah ratusan kali aku menerima pesanan bunga ucapan duka cita. Bisa jadi sumber rejekiku memang berasal dari rasa suka dan duka. Orang lain bahagia aku ikut bahagia karena mendapatkan pesanan. Orang lain sedang berduka, kami pun bahagia karena dapat pesanan juga. Aku juga bingung, apa harus merasa bersalah atau tidak.
Kedua anakku sendiri rupanya tak ingin meneruskan usaha ini. Setelah selesai kuliah mereka memilih untuk menjadi pegawai negeri. Kata mereka gajinya lebih pasti. Tapi menurutku jual bunga juga pasti. Karena bunga akan mengiringi duka dan bahagia manusia di dunia ini. Tapi ya sudahlah, itu pilihan mereka. Biarlah nanti jika aku sudah mati, salah satu pegawaiku saja yang meneruskan usaha ini. Yah buat dia saja, bahkan dia mengabdi lebih tua dari usia anakku saat ini. Namanya Mulyadi. Sosok biasa yang rajin bekerja. Pernah aku bercakap-cakap denganya dalam suatu kesempatan yang bersahaja.
"Mul, kalau aku nanti mati, kamu mau kan meneruskan usaha ini?" tanyaku.
"Wah Bapak, saya tidak berhak Pak dan saya tidak berani," jawabnya.
" Loh kenapa tak berani, bukannya kamu berpengalaman puluhan tahun di usaha ini ,"sanggahku.
"Masih ada anak bapak, saya lancang nanti,"jawab Mulyadi.
"Ah mereka sebenarnya sudah nyaman dengan pekerjaannya saat ini,Mul. Dan sempat aku tanya, Apakah mereka mau meneruskan toko bunga ini, mereka menjawab tidak mau Mul,"jawabku
"Oh begitu pak, saya nanti pikir-pikir dulu, Pak. Saya sebenarnya sudah bahagia hidup seperti ini. Sebagai pegawai Bapak," jawabanya
"Mul, kalau aku mati tidak ada lagi yang mempekerjakanmu, terus nasib 3 temanmu juga akan ikut selesai karena toko ini berhenti. Jadi sebaiknya kamu pikirkan baik-baik tawaran ini," ucapku.
Dia hanya terdiam. Menurutku memang dia tidak memiliki ambisi untuk memiliki toko ini. Sesaat kemudian dia berkata.
"Kalau memang anak-anak Bapak tidak mau. Mulyadi mau mengurus toko ini Pak. Tapi Mungkin sebagian hasilnya akan saya kirimkan ke keluarga Bapak,"jawabnya lugu.
"Ga usah seperti itu Mul," jawabku sambil tertawa.
Sesaat kemudian dia bertanya kembali.
"Bapak kan sudah menjalani usaha ini lebih dari 30 tahun, apa sebenarnya mimpi Bapak?"
"Mimpiku Mul?, mimpi yang serius apa yang ga serius Mul?"tanyaku bercanda.
"Ya yang serius, Pak,"jawabnya
"Ada 2 Mul, yang pertama kamu bisa meneruskan usaha ini. Yang mimpi kedua, agak aneh ya Mul, aku kan sudah berjualan bunga selama 30 tahun lebih, pelanggannya sangat banyak, mengirim ke hampir seluruh sudut kota ini, tapi aku sendiri belum pernah dikirimi bunga oleh siapa pun Mul,"jawabku terkekeh kekeh.
"Jadi Bapak pengen dikirimi bunga hahahahaha," Mulyadi ikut tertawa.
"Iya Mul, semoga bisa tercapai. Hahaha guyon Mul,"ucapku.
Komentar
Posting Komentar